Apa itu Parenting?

Parenting realitanya memiliki makna yang luas sehingga tidak hanya sebatas program pengasuhan orang tua terhadap anaknya saja.

Mengenal Gangguan Psikotik Skizofrenia

Bagaimana sebetulnya deskripsi mengenai gangguan psikotik skizofrenia dimulai dari definisi hingga proses terapinya.

Makna Filosofis logo Mozaik Psikologi

Logo Mozaik Psikologi dengan berbagai makna filosofis di dalamnya yang menjadi daya tarik dengan keotentikannya.

Tips Sukses Menyapih dengan Metode WWL ( Weaning With Love)

Sebuah Metode menyapih anak dengan cinta yang efektif untuk tetap menjaga attachment ibu dan anak .

Efektifitas Menggunakan KB Alami untuk Pasutri

Salah satu jenis KB yang bisa menjadi alternatif untuk pasutri tetap menjaga keharmonisan dibarengi kenyamanan fisik dan psikis.

Senin, 16 November 2020

Melejitkan Potensi Unggul Anak ditengah Pandemi

 Melejitkan Potensi Unggul Anak ditengah Pandemi

Oleh : Eva Nur Khofifah, S.Psi., C.Ht.

Especially for : Komunitas Dari Rumah Untuk Peradaban



Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh sahabat komunitas Dari Rumah Untuk Peradaban semuanya...

Saya akan mencoba memaparkan lebih detail dan spesifik terhadap beberapa hal yang memang perlu dijabarkan lebih lanjut dari slide yang sudah dilampirkan. Tujuannya untuk meminimalisir kebingungan dan kekeliruan yangbiasanya jadi salah tafsir jika hanya membaca gambaran umum di slide saja.

Pandemi memang belum usai. Bagaimana diantara kita bersikap tentulah berbeda-beda. Ada yang memang sudah mulai menikmati kebiasaan baru, ada yang justru baru terdampak, adapula yang sudah mulai jenuh, bosan hingga stress melanda. Khususnya untuk orangtua dan anak anak yang notebene bersekolah di sekolah. Kini segala sesuatunya harus di rumah. Di sekolah hanya sesekali saja. Oleh karenanya, mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua harus banting setir. Jika orangtua yang memang terbiasa belajar di rumah dengan anaknya, gak akan terlalu "ngarumas". Namun jika orangtua yang terbiasa menyerahkan segala sesuatunya ke sekolah, bisa mendadak darah tinggi nih, mak. Bahkan mendadak jantungan. Betul apa betul banget?😁


Diantara permasalahan orangtua dan anak selama pandemi adalah SFH (School From Home) alias belajar di rumah dengan sistem daring yang bikin darting 😂 yang pada akhirnya membuat emosi orangtua labil, terutama emaknya yang biasa mendampingi anandanya belajar.  Saking pusingnya, tak sedikit pula yang mengerjakan tugas sekolah adalah emak dan bapaknya, dan anaknya yang ongkang kaki saja 😅


Jika sudah seperti itu, jangankan anak yang tidak mau belajar bersama orangtuanya karena orangtuanya emosian. Orangtua pun ogah mengajarkan anak karena anak susah diatur. Endingnya, sekalipun anak di rumah lebih lama dari biasanya, kedekatan dan kelekatan dengan orangtua justru berkurang bukan semakin meningkat.


Bagaimana solusinya? SABAR. 5 huruf satu kata yang mudah diucapkan, namun realisasinya subhanallah sekali. Banyak kejadian fatal terjadi karena kurang sabar dan akhirnya menyesal karena belum mampu meregulasi emosi dengan luwes. Tidak mudah gak berarti tidak bisa, bukan? menjadi sulit karena memang hadiahnya surga, sekolahnya seumur hidup, latihannya setiap detik.


Sabar bukan berarti diam. Diam ketika anak tidak ada minat belajar. Diam ketika anak meninggalkan kewajibannya, seperti shalat misalnya jika masanya sudah cukup. Diam ketika kita sebagai orangtua terus menerus tidak bisa mengendalikan emosi. Diam ketika anak kita tertekan dan tidak bahagia menjalani harinya. Diam ketika anak tidak mengetahui potensi unggulnya, yang akhirnya anak salah jurusan dan efeknya waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya keluar tidak tepat sasaran. Sabar itu bukan seperti itu ya, sabar itu menerima namun tetap mencari solusi terbaik dari masalah kita.


Badai pasti berlalu. Kebanyakan dari kita terdampak pandemi ini. Terdampak secara materi ataupun psikis, keduanya berjalan beriringan. Jika seorang triliuner, ruginya triliunan. Jika seorang milyader ruginya milyaran, jika seorang jutawan ruginya jutaan, menengah ke atas, menengah ke bawah demikian adanya. Jadi, yuk mari terus beryukur, maka kita akan bahagia. Jika tidak bersyukur, sekalipun uang triliunan, emas berlian tak terhitung, tetap saja akan terasa kurang. Efek psikis pun jelas terasa saat pandemi ini. Orangtua, anak, bahkan guru pun sudah mulai jenuh dan bosan dengan rutinitas yang ada. 


Namun apakah kita akan terus meratapi keadaan atau menyiasati dan fleksibel dengan keadaan? pandemi menjadi peluang untuk mendekatkan diri dengan anak. Kita akan mengetahui betul bagaimana sih sebetulnya minat dan bakat anak itu. Namun jika terus menerus emosi negatif yang hadir, maka celakalah kita.


Seperti tercantum dalam QS Al-Insyirah ayat 5-6 yang artinya "Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan."


Tetap semangat menikmati proses yang ada dam semua aspek kehidupan kita. Karena setelah kesulitan ada kemudahan. Itulah janji-Nya. Jangan sampai karena kondisi ini, anak menjadi korban utamanya.


Banyak anak yang sebetulnya sangat cerdas, namun dilabel nakal karena ia bukan anak penurut. Banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak yang akan sukses adalah anak yang mangut-mangut saja menerima omongan orang lain. Sedangkan anak yang kritis dianggap anak yang aneh, anomali bahkan abnormal. Padahal bisa saja jika kita mampu memanfaatkannya, maka potensi unggulnya akan keluar dengan indahnya.


Apa sih potensi unggul itu? potensi yang paling menonjol dari potensi lainnya pada diri anak.


Mengapa penting memahami hal ini? biar anak gak salah jurusan, anak jadi bahagia dan hasil kerjanya maksimal karena kebahagiaan itu. Contoh mudahnya gini. Ada orang yang masakannya enak banget, ternyata ia sangat menyukai memasak, memasak baginya menyenangkan, selain menyenangkan ia pun punya bakat di dalamnya, jadi hasilnya maksimal. Sudah bahagia, enak masakannya, menghasilkan uang pula.


Namun ada orang seperti saya misalnya. Yang suka masak biasa aja, bakat pun biasa aja 😂 ya hasilnya pun biasa aja, hanya memenuhi kewajiban dan kebutuhan perut saja, ketika melakukannya pun ya biasa aja, gak se happy orang yang memang suka masak, dan jelas tidak layak jual 😁 cukuplah untuk keluarga saja.


Artinya apa? jika kita melakukan sesuatu sesuai minat dan bakat maka hasilnya akan maksimal karena kita bahagia.


Untuk ciri-ciri anak bahagia sudah cukup jelas ya di slide. Yang mungkin agak membingungkan adalah poin ciri anak yang bahagia. Disana tertera "No ON OFF". Maksudanya apa? ini pernyataan dari Ayah Edy ya.


Jika pada anak berlaku hukum ON OFF, tidak ON ON maka berbahaya. ON yaitu anak lepas mengeluarkan emosinya. OFF berarti anak tidak lepas alias ada yang ditahan. Anak terlihat baik di rumah ternyata di luar tidak demikian, perilaku aslinya keluar saat tidak ada orangtua ataupun sosok lain yang ia takuti, itu berarti ON OFF. Maka jelaslah jika ON OFF menjadi iklim dalam keluarga, potensi unggulnya pun tidak akan keluar. Karena anak tidak lepas berekspresi kepada orangtuanya. Salah satu penyebabnya adalah karena orangtua adalah sosok menakutkan bagi anaknya. 


Kapan potensi unggul anak bisa terlihat? Beda-beda ya pada setiap anak itu. Sudah jelas ya di slide. Intinya kita jangan terlalu cepat menilai minat bakat anak. Ataupun jangan terlalu lambat. Keduanya memiliki resiko tersendiri.


Cara menemukan potensi unggul sudah jelas ya di voice note. Itu hanya bentuk ikhtiar saja. Selebihnya kehendak Allah lah yang menentukan. Namun kita pun diperintahkan untuk berusaha maksimal dan menentukan pilihan hidup yang akan diraih.


Mau anak kuliah atau berpendidikan, mau anak tidak kuliah, mau kita dari kalangan kurang mampu. Semuanya memiliki peluang untuk sukses seperti contoh-contoh yang dijelaskan di slide. Tinggal kita menyontek, memodel, mengambil ibroh agar kita terus belajar. Cendekiawan muslim pun banyak sekali yang sukses untuk kesejahteraan manusia lainnya. Karya besar banyak lahir dari para cendekia tersebut. Itu bisa menjadi penyemangat untuk orangtua ataupun anak kita sekalipun. Namun dari semua tauladan itu, tetaplah Rasulullah SAW adalah tauladan terbaik yang bisa kita contoh untuk semua aspek kehidupan.


Untuk membersamai ananda menemukan dan melejitkan potensi unggulnya pasti banyak tantangannya. Namun prinsipnya tetap. Lakukankah dengan sepenuh hati dan penuh kelembutan. Seperti halnya hadits di bawah ini : 


"Ajarlah, permudahlah dan jangan dipersulit. Gembirakanlah dan jangan ditakut-takuti. Jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berdiam diri." (HR. Ahmad & Bukhari)


Sesuai dengan hadits di atas. Kita sebagai orangtua hendalah mempermudah proses belajar anak. Belajar dalam segala hal. Apalagi ketika anak belum baligh. Banyak yang bertanya, apakah dalam beribadah pun kita tidak boleh memaksa anak? Adakah satu dalil saja yang memperbolehkan kita memaksa anak melakukan sesuatu? jawabannya tidak ada. Yang ada adalah kita menuntun anak untuk MEMAKSAKAN DIRINYA untuk beribadah. Bukan kita yang memaksa. Tapi dirinya lah yang harus belajar memaksakan dirinya sendiri sehingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan bahkan kebutuhan. Dalam hal ibadah yang sifatnya wajib, jelaslah kita tidak bisa memilih mau melakukannya atau tidak, karena memang wajib dilakukan. Namun dalam hal menemukan potensi unggul, kita dibekali akal pikiran serta hati untuk menentukan pilihan. Jadi jelas ya perbedaannya.


Yuk, terus berusaha semangat mambersamai anak dengan segala keunikannya 😍💪

Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf atas segala kekurangannya, yang benar hanyalah milik Allah SWT, yang salah jelaslah keluar dari diri saya pribadi sebagai manusia biasa. Wallahu a'lam bish-shawwab.

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh...


Salam Bahagia..


Mozaik Psikologi

*Jika dirasa artikel ini bermanfaat, silakan boleh langsung di share saja yaa...

Minggu, 01 November 2020

Mendidik Tidak Bisa Mendadak

 MENDIDIK TIDAK BISA MENDADAK

Penulis : Eva Nur Khofifah, S.Psi., C.Ht.

Special for : Arsitek Peradaban Community

Sumber Gambar : tongkronganislam.net

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh sahabat fillah semuanya, izin memperkenalkan terlebih dahulu yaa..


Penulis adalah seorang ibu dari dua anak balita yang hingga detik ini terus belajar mengelola emosinya sebagai seorang ibu, dan akan terus belajar mengelola emosi hingga detik terakhir. Penulis pun adalah seorang isteri yang hingga detik ini pun terus belajar memperbaiki diri dan berusaha semaksimal mungkin menghangatkan suasana rumah, karena status seorang isteri ataupun ibu adalah jantungnya rumah. Seisi rumah akan berdetak dengan sempurna jika jantung rumahnya bahagia. 

Oleh karenanya, sebelum belajar ilmu pengasuhan anak, sebelum belajar mendidik anak, yuk bahagiakan diri kita dahulu, agar mampu menularkan kebahagiaan pada seisi rumah. Bagaimana caranya bahagia? salah satunya dengan bersyukur. Yuk kita awali materi ini dengan bersyukur atas segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya.


Mendidik tidak bisa mendadak. Sebuah frasa yang menjadi realita pada zaman ini khususnya. Mengapa mendidik tidak bisa mendadak ya sahabat semuanya? Mengutip pernyataan dari dr. Aisyah Dahlan (2020) yang diunggah oleh akun instagran @talkparenting yang menyebutkan bahwa "Diingat-ingat ya utuk orangtua, kalau mendidik anak itu tak mudah, karena hadiahnya surga, kalau mendidik anak mudah, hadiahnya rice cooker." 😂


Intinya, mendidik tidak bisa mendadak karena mendidik itu tidaklah mudah, mak. Orangtua yang seringkali menyatakan hal tersebut adalah orangtua yang memiliki banyak anak dan sudah berpengalaman mempuyai anak dari berbagai fase perkembangan. Anaknya ada yang masih balita, kanak-kanak, remaja bahkan dewasa. Jadi orangtua berpengalaman betul bahwa perilaku anak ketika masa balita dan kanak-kanak akan berpengaruh terhadap perilakunya ketika remaja dan dewasa.


Nah, mengapa penulis bersemangat sekali sharing kepada para single lillah, pengantin baru, yang sedang menanti momongan, ataupun kepada emak bapak yang masih muda, yang anaknya balita-balita. Karena penulis seringkali mendapat curcolan dari emak bapak yang anaknya sudah usia remaja ataupun dewasa terkait perilaku anaknya yang bermasalah. Setelah ditelisik, asal muasalnya tidak jauh karena kurang tepatnya pengasuhan orangtua ketika anak masih kecil. Jika sudah terjadi seperti itu, gak bisa tuh kita mendidik anak secara mendadak atau memperbaiki sikap dan perilakunya yang kurang tepat dengan instan. Karena mendidik tidak seperti mie instan, yang ketika diseduh langsung jadi dan bisa diseruput dikala musim hujan seperti sekarang ini 😁


Jadi, yuk kita bisa merenung dan belajar bersama, mak 😅💪


Mumpung anak-anaknya masih balita, seperti sebuah pepatah "Belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu, sedangkan belajar ketika sudah besar bagai mengukir di atas air."


Artinya apa, mak? artinya mengajarkan apapun di masa kecil lebih mudah dan bisa melekat hingga anak dewasa. Dibandingkan dengan mengajarkan sesuatu pada anak ketika ia sudah besar, lebih sulit mak.


Lalu, bagaimana seharusnya kita mendidik anak? siapakah yang dijadikan panutan? di slide sudah di jelaskan ya siapa saja yang harus kita contek dan contoh suri tauladannya.


Kita bahas tauladan pertama dan terbaik saja dahulu ya, yaitu Rasulullah SAW. Karena kalau dibahas semua bisa panjang kali lebar mak, luas sekali 😀


Rasulullah SAW bukan hanya bersabda namun memberikan contoh yang baik dalam mendidik anak sesuai dengan fase nya. Dalam Al-Qur'an ataupun hadits tidak secara eksplisit dijelaskan bahwa fase perkembangan anak ada 4 tahapan. Namun oleh para ulama, ahli Al-Qur'an dan para Muhadits menganalisa berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits terkait hal ini. Berikut ringkasannya :

1. Fase pertama ialah usia anak 0-7 tahun

Fase ini, jadikanlah anak layaknya raja. Ia harus diperlakukan dengan lemah lembut sekalipun melakukan kesalahan. Mendidik dengan lemah lembut sangatlah efektif dan inilah yang dicontohkan oleh Rasul kepada anak dan cucunya. Kalaupun anak melakukan kesalahan, dilarang keras berkata kasar apalagi melakukan kekerasan fisik. 


Seperti yang dicontohkan nabi pada cucunya Hasan dan Husain. Saat itu Rasulullah SAW sedang bersujud dan punggungnya dinaiki oleh cucunya Hasan dan Husain, dan Rasulullah memanjangkan sujudnya.


Kemudian ada sahabat yang bertanya "mengapa melakukan demikian?" Rasulullah SAW menjawab "aku tak suka membuatnya tergesah-gesah, sampai dia memenuhi hajatnya" (HR Ahmad dan Hakim).


Yuk, coba kita bayangkan pada diri kita? jika anak kita naik ke punggung saat kita sujud, apakah kita akan berlama-lama sujud ataukah cepat-cepat? 😁


Ini hanya satu hadits saja, banyak sekali keterangan yang menuturkan betapa lemah lembut dan penuh kasih sayangnya Rasulullah pada anak kecil.


2. Fase kedua usia anak 7-14 tahun

Pada usia ini, perlakukan anak layaknya tawanan perang. Penegakan disiplin dan tanggungjawab sudah mulai diterapkan pada usia ini. Namun tetap ada aturannya, yaitu tidak boleh dengan kekerasan ataupun berlaku kasar. Yang diperbolehkan adalah TEGAS. Bukan keras ataupun kasar. Seperti dalam hadits di bawah ini :


Dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)" (HR Abu Dawud, Ahmad dan Hakim).


Rasulullah SAW menganjurkan untuk memukul anak itu dimulai ketika anak berusia 10 tahun, itupun alasannya jelas, yaitu meninggalkan shalat. Memukulnya pun ada tahapannya, tidak asal. Lah kitee bagaimanee? anak baru brojol disayang-sayang, kesananya mulai deh dipelototin 😁 emak berubah jadi singa yang bertanduk dari hari ke hari😅


3. Fase ketiga usia anak 14-21 tahun

Pada fase ini, jadikanlah anak layaknya sahabat. Anak mampu terbuka karena sikap lemah lembut orangtua. Berbagi pikiran dan seringlah berbincang tentang segala hal. Pada fase remaja ini, anak perempuan tidak mengapa dekat dengan ayahnya, agar ia tidak mencari kasih sayang selain dari ayahnya, sudah full dari ayahnya. Untuk anak laki-laki, tak mengapa dekat dengan ibunya. Tujuannya agar anak belajar bagaimana memperlakukan perempuan dari sang ibunda. Usia ini tetaplah memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, seperti kasih sayangnya Rasulullah SAW kepada Fathimah dalam Hadits di bawah ini :


"Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari dagingku, siapa yang menyakitinya maka menyakitiku, dan membuatku marah apa-apa yang membuatnya marah" ( HR Thabrani dan Mu'jam Kabir no 18446).


Saking sayangnya Rasulullah SAW pada anaknya, beliau sampai berkata demikian. Bahkan usia Fathimah sudah dewasa pun, sudah menikah, dalam hadits lain disebutkan, Rasulullah SAW tetap memeluknya ketika ia berkunjung ke rumah. Bukan hanya memeluk, namun ketika Rasul sedang duduk pun Rasulullah langsun berdiri untuk menyambut anaknya. Mudah-mudahan kita bisa mengambil tauladan darinya, bahwa menyayangi dan memanjakan anak itu bukan hanya masa kanak-kanak saja, meskipun anak kita sudah berjanggut ataupun keriput, ia tetaplah anak kita.


4. Fase keempat usia 21 tahun ke atas

Ada ulama yang mengelompokkan tahapan mendidik anak ala Rasul sampai usia 21 tahun, dan adapula yang memberikan penjelasan lebih pada usia 21 tahun ke atas. Keduanya pun tak mengapa. Namun saya lebih ingin menyoroti pula fase 21 tahun ke atas ini, karena dirasa urgent untuk masa kini. Pada fase ini, siapkan anak untuk menikah. Meski dalam hal tanggungjawab harus sudah diajarkan dari ini. Namun pada usia ini lebih ke evaluasi atau chek n rechek saja 😁 


Untuk anak laki-laki, siapkan menjadi pemimpin untuk keluarganya. Untuk anak perempuan, siapkan menjadi makmum sekaligus pemimpin. Makmum untuk suami, dan pemimpin untuk anaknya. Seperti termaktub dalam hadits di bawah ini :


Rasulullah SAW bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara dalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalh pemimpin atas keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal pertanggungjawabannya (HR Muslim).


Sesuai hadits tersebut, jelaslah bawa jika sudah menjadi ibu maka kita adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seringlah meminta maaf dan berterimakasih kepada anak. Meskipun kesalahan kita sudah terekam dalam alam bawah sadarnya, setidaknya jika kita meminta maaf, luka batinnya perlahan akan pulih. In syaa Allah.


Nah, sudah agak terbayang kan bagaimana mendidik anak yang seharusnya?

 

Selain sesuai fase perkembangan, mendidikpun semua aspek perkembangan ada aturannya. Aspek perkembangan itu apa saja ya? Ada aspek fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, spiritual dan moral. Semua aspek perkembangan tersebut tidak bisa mendadak mak diajarkannya, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mendidik itu tidak seperti tahu bulat yang enak jika digoreng dadakan, mendidik itu gak enak banget kalo dadakan, mengapa? karena energi, waktu, pikiran bahkan biaya bisa lebih terkuras habis.


Membahas aspek perkembangan lain kali saja ya mak, bisa gak beres satu semester soalnya 😅


Materi dalam slide terkait dengan contoh bad attitude & behaviour (perilaku), itu hanya secuil contoh saja. Realitanya banyak sekali contoh-contoh sikap dan perilaku anak yang kurang tepat jika orangtua tidak mendidiknya dengan tepat sedari dini.


Mendidik itu melelahkan ya mak? akui saja dalam hati jika memang demikian. Namun sebagai orangtua harus berpikir ke depan. Jika kita tidak mati-matian sedari dini dalam mendidik anak, kita bisa mati beneran pas masa tua karena melihat perilaku anak. Stress karena perilaku anak dan akhirnya berpengaruh terhadap kondisi fisik kita. Ketika anak usia remaja atau dewasa, ia tidak menjadi qurrata a'yun untuk orangtuanya. Naudzubillah, ngeri ya mak apalagi liat pergaulan zaman now, orangtua bukan hanya harus lemah lembut tapi harus cerdas juga dalam mendidik anaknya.


Mungkin dalam hati para orangtua ada yang berkata "ah, namanya juga anak kecil, memang begitulah anak kecil, nanti juga gak akan, baik sendiri kok." Pernyataan seperti itu sebetulnya hanyalah harapan, bukan realita di lapangan. Untuk mengetahui realita di lapangan, kita harus sering mengobservasi bahkan mewawancarai secara mendalam para orangtua yang sudah berpengalaman dalam mengasuh anaknya, ketika anaknya bermasalah saat remaja dan dewasa, apa kesalahan mereka yang bisa kita ambil hikmahnya, bisa kita ambil pelajaran agar kesalahannya tidak kita ulang. 


Namun jika kitalah yang sebetulnya menjadi korban perlakuan tidak adil orangtua kita. Cukup ambil pelajaran saja, STOP di kita dan maafkanlah orangtua kita. Tak ada alasan kita menjadi durhaka pada orangtua jika kita sudah mengetahui ilmunya. Ambil hikmahnya saha supaya jangan sampai kita melakukan pada anak kita dan anak kita melakukan pada cucu kita kelak, jadi dosa turun temurun kan mak 😭


Sekarang saatnya kita menikmati proses yang ada, karena kalau sekarang tidak dinikmati kasihan sama diri kita mak. Mengapa? ya karena sampai anak kita dewasa pun kita akan tetap mendidiknya, akan tetap ada pusing dan lelahnya, tetap ada tantangannya, namun jika sedari awal kita mendidik, maka In syaa Allah ke depannya tidak akan ada masalah yang berarti. Oleh karenanya, lebih baik kita nikmati setiap prosesnya.


Sudah segitu dulu aja yaa sahabat fillah semuanya, sedikit saja yang memang harus dijelaskan agak mendetail. Selebihnya, di slide pun sudah cukup jelas ya, In syaa Allah.

Yuk ah, terus belajar menjadi orangtua yang mencintai dan dicintai anaknya.


Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf atas segala kekurangannya, yang benar datangnya hanya dari Allah SWT, dan yang dhaif  keluarnya dari saya pribadi sebagai manusia biasa. Wallahu a'lam bish-shawab..

 Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh..


Salam Bahagia


Mozaik Psikologi

*Jika dirasa artikel ini bermanfaat, silakan boleh di share yaa...

Senin, 01 Juli 2019

Jenis-jenis stres : Eustress dan Distress


Stres ada 2 jenis, stres yang pertama adalah eustress dan yang kedua distress.
Eustress adalah stres yang positif dan bermanfaat, misalnya ketika seseorang mendapatkan tantangan baru yang membuatnya stres tapi pada dasarnya dia bisa melakukannya, hanya butuh waktu saja, sehingga pada akhirnya ia mendapatkan manfaat dari tantangan tersebut dan kualitas hidupnya lebih meningkat karena tantangan tersebut.
Distress adalah stres yang merusak dan berbahaya, misalnya ketika seseorang mendapatkan tantangan yang sama sekali diluar kemampuannya, ia benar-benar bukan ahlinya sama sekali, akhirnya stres yang dirasakannya dapat merusak kualitas hidupnya, menjadi tertekan, tidak semangat menjalani hari bahkan muncul perilaku-perilaku deskruptif lainnya.
Nah, kebanyakan orang menganggap bahwa stres itu hanya distress saja. Nyatanya ada eustress yang tentunya bermanfaat asalkan manajemen stres nya berjalan dengan optimal.
Salam Bahagia.
Selamat menjalani hari yang penuh tantangan..Fighting 😉

Kisruh rumah tangga selebriti dan riuhnya komentar netizen



Mozaik psikologi mencoba menanggapi fenomena yang terjadi saat ini ditengah maraknya perceraian yang terjadi di kalangan selebriti, entah itu selebriti tanah air ataupun luar negeri khususnya dan umumnya untuk seluruh masyarakat yang mengalami perceraian.

Netizen sontak berkomentar " jika kejadiannya begini maka yang salah berarti suaminya dong, jika kejadiannya begitu maka yang salah istrinya dong."

Tidak ada rumus pasti dalam sebuah pernikahan, jika kejadiannya seperti itu belum tentu juga penyebabnya seperti itu pula, ada banyak sekali variabel yang bisa melatarbelakangi pasangan memutuskan untuk menyudahi bahtera rumahtangganya. 

Perlu identifikasi mendalam untuk tau dan paham bukan hanya dari selentingan berita yang ikut lewat menghiasai layar saja, karena apa yang terlihat di permukaan belum tentu sama dengan apa yang ada didalamnya. Jika tidak yakin lebih baik mengurungkan niat untuk berkomentar karena bisa saja apa yang kita tuduhkan jatuh ke fitnah atau pencemaran nama baik belaka. 

Maka untuk azas kehati-hatian alangkah lebih baik kita lebih bijak dalam berkomentar apalagi menyangkut hal yang sangat jauh sekali untuk dijangkau. 

"Pernikahan adalah manajemen ketidakcocokan" kata Sophan Sophiaan dalam buku Psikologi Suami Istri karya Dr. Thariq Kamal An'Nuami. Maka tidaklah mudah untuk berkomentar lebih jauh tentang kehidupan pribadi seseorang, karena hanya pasangan yang bersangkutan lah yang tau, paham dan merasakan betul bagaimana kejadian sesungguhnya dibalik keputusan yang diambil.


Salam Bahagia.
Mozaik Psikologi. 

Senin, 06 Mei 2019

Dampak Buruk Memaksakan Nilai Akademis Anak


Diakui atau tidak di era post modern ini banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak yang sukses adalah anak dengan nilai akademis yang baik, tak sedikit orangtua yang memaksakan hal tersebut dan akhirnya menjejal anak dengan berbagai macam mata pelajaran bahkan sesampainya anak pulang sekolah yakni di rumah, efektifkah?

Kurikulum yang ada sekarang ini sudah sangat padat dibandingkan negara-negara lainnya, namun mau tak mau suka tak suka karena kita berada di negeri indonesia ya kita menerima saja namun tetap mengakali bagaimana caranya supaya anak tetap nyaman dan bahagia bersekolah. Nah oleh karena kurikulum yang ada pun sudah sangat banyak tak etis sebagai orangtua kita tidak memahami psikologis anak dengan memaksa anak menguasai semua bidang. Harapan orangtua hanya anak bisa menjadi juara kelas dengan nilai yang sangat memuaskan, itu saja. Ya memang hal tersebut tentu membuat orangtua bahagia, namun apakah pada realitanya yang menentukan kesuksesan anak hanya dari nilai lapor saja?

Ketika nilai akademis anak bobrok bahkan hanya standar saja orangtua memaki habis-habisan seakan-akan dunia akan runtuh karena hal tersebut. Benarkah anggapan tersebut?
Lalu apa dong yang harus dilakukan oleh orangtua ketika nilai akademis anak kurang memuaskan?

Orangtua wajib menganalisis dari berbagai faktor, berbagai sudut pandang apa alasan dibaliknya, apakah karena tuntutan dari orangtua, guru dan sekolah yang terlalu tinggi sehingga justru menyurutkan semangat anak, potensi anak jadi tidak keluar. Karena meskipun kecerdasan intelektual anak terhitung rata-rata jika anak rajin dan semangat belajar seyogyanya ia akan mampu mengikuti pelajaran dengan baik, akan mampu beradaptasi dengan baik. Selain itu apakah memang dari nilai lapor tersebut memang hampir semuanya bukan minat dan bakat anak tapi anak justru memiliki minat dan bakat lainnya yang tentunya dapat terlihat jelas pula pada nilai lapor, di mata pelajaran apa anak unggul? di mata pelajaran apa anak kurang unggul? itulah yang harus dianalisis dan dipahami orangtua. 

Kembangkanlah potensi anak dengan melihat nilai nya yang unggul, untuk nilai yang kurang inggil jangan dipaksa menjadi unggul karena memang tidak ada minat dan bakat anak disana.

Orangtua harus paham dulu arti sukses, tujuan sukses yang seperti apa yang harus dicapai anak, apakah dengan anak menjadi pegawai kantoran, apakah anak yang menghasilkan banyak uang? realitanya banyak sekali orang dewasa yang tetap melakukan bunuh diri meskipun bergelimang harta, berarti bukan itu dong yang disebut sukses. Lalu orang sukses itu yang seperti apa? orang sukses adalah orang yang bahagia dan kebahagiaan yang hakiki didapatkan oleh orang yang bersyukur. Itulah yang ditanamkan kepada anak, profesi apapun anak nantinya, anak kita adalah anak yang sukses jika disertai dengan bersyukur yang endingnya kebahagiaanlah yang ada.

Realitanya di dunia kerja orang sukses adalah yang bahagia dengan profesinya, lalu bagaimana caranya supaya bahagia? ya jelas ia harus bekerja sesuai minat dan bakatnya.  Salah satu cara melihat minat dan bakat anak yang dengan nilai akademis anak, mana yang paling unggul diantara semuanya dan anak pun memiliki minat yang sangat tinggi pula. Apalagi di jaman sekarang ini segala sesuatu ada ahli nya, ada spesialis nya, sayang sekali jika orangtua memaksakan anak unggul pada semua bidang sedangkan orangtua tidak tau mana yang paling unggul diantara semuanya.

Nyatanya untuk sukses bukan hanya intelectual quotient saja, ada emotional quotient dan spiritual quotient yang harus dikembangkan pula.  Tiga kecerdasan tersebut harus berjalan beriringan tidak bisa dipisahkan, misalnya anak hanya dikembangkan kecerdasan intelektual saja dan kecerdasan emosional seerta spritualnya dibiarkan, akan seperti apa di dunia kerja? begitupun anak yang hanya dikembangkan kecerdasan emosional saja tanpa mempertimbangkan penting pula kecerdasan intelektual dan spiritual akan seperti apa? dan berlaku pula untuk yang hanya mengembangkan kecerdasan sipritual anak.

Kepribadian anakpun harus diperhatikan, anak termasuk pribadi dengan karakteristik yang intovert ( tertutup ) ataukah ekstovert ( terbuka) ? di jaman sekarang ini dengan banyaknya lapangan kerja yang dapat disesuaikan dengan keperibadian anak, anak yang cenderung terbuka bisa berprofesi dengan pekerjaan yang intensitas bertemu dengan banyak orangnya lebih banyak, anak suka tampil di publik, anak tidak keberatan berada ditengah kerumunan orang, anak senang berkomunikasi dengan banyak orang. Sebaliknya untuk anak yang cenderung tertutup maka orangtua tidak boleh memaksa menjadi terbuka karena memang di jaman sekarang pekerjaan untuk orang tertutup pun banyak sekali, anak yang tidak seka bekerja dengan banyak orang, anak yang potensinya keluar saat menyendiri, anak bisa memiliki profesi yang tuntutan kerja nya berada di belakang layar, maka potensi anak pun akan keluar sama seperti anak yang terbuka.

Jika mencermati pernyataan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa nyatanya memaksakan nilai akademis anak sungguh tak ada faedahnya, malah akan menjadi sia-sia saja, karena nyatanya anak yang sukses bukan dilihat dari faktor akademis saja, ada kecerdasan emosional dan spiritual yang harus dicapai beriringan pula dengan kecerdasan intelektual.

Lalu apa saja dampak buruknya memaksakan nilai akademis anak? 

Pertama, anak yang dipaksa nilai akademisnya memuaskan cenderung menjadi anak yang pemalas. Kenapa pemalas? ya karena pada akhirnya ketika ia terpaksa melakuakn sesuatu yang tidak diinginkan ia menjadi malas melakukan hal tersbut, alih-alih menjadi semangat , yang ada kemalasan semakin mengakar karena sikap memaksa orangtua.

Kedua, ketika anak dipaksa nilainya bagus justru realitanya ia melakukan hal sebaliknya ( nilainya sangat tidak memuaskan). Anak yang dipaksa mendapat nilai A untuk semua pelajaran, realitanya kebanyakan hasilnya malah sebaliknya, mengapa? karena anak melakukan pemberontakkan, bukannya semangat tapi malah ingin menunjukkan bahwa ia tidak bisa dipaksa, tidak bisa dijajah, karena terlalu sering dipaksa dan dimarahi akhirnya anak menjadi kebal dan tertawa ketika melihat orangtuanya kesal dengan nilai akademisnya.

Ketiga, kalaupun dengan dipaksa nilai anak tetap bagus realitanya di kehidupan nyata nilai tersebut kurang terpakai dan minat bakat anak kurang tergali dengan baik. Anak yang menuruti saja apa yang diinginkan orangtua tanpa protes, buka berarti menjadi anak yang baik, namun bisa jadi anak takut untuk berpendapat kepada orangtuanya, orangtua dihormati anak karena rasa takut anak. Jika nyatanya nilai anak bagus karena dipaksa maka sesungguhnya potensi anak yang aslinya tidak akan keluar, anak tidak tau mana yang unggul pada dirinya, anak hanya fokus mendapatkan juara kelas dengan nilai yang memuaskan untuk semua mata pelajaran.

Keempat, anak yang dipaksa melakukan sesuatu yang bukan minat dan bakatnya maka minat dan bakat aslinya sulit untuk digali. Anak dipaksa nilainya bagus di bidang sains padahal potensi aslinya ada di ilmu sosial, maka anak akan sekuat tenaga memberikan nilai yang terbaik untuk bidang yang tidak diminatinya, begitupun sebaliknya, anak yang unggul di bidang sains namun orangtua ingin anak unggul di bidang sosial maka minat adan bakat anak dibidang sains lama-lama akan pudar seiringnya berjalan waktu.

Yang perlu digarisbawahi oleh orangtua adalah bahwa tidak ada suatu kebaikan apapun yang hasilnya baik jika dilakukan dengan keterpaksaan, tetap ada dua kemungkinan anak akan mengikuti alur orangtua namun dirinya tersiksa atau anak yang melakukan pemberontakkan. 

Jangan dipukul rata ya antara ibadah yang memang harus dipaksakan terlebih dahulu supaya biasa dengan penentuan minat dan bakat anak yang tidak boleh dipaksa, hal tersebut jelas amanah pula dari Rasulullah bahwa kita tidak dibenarkan mempersulit anak, permudahlah urusan anak.

Komunikasikanlah dengan komunikasi yang efektif dan produktif terkait nilai akademis anak yang akan berimbas pada potensi minat dan bakat anak, harus disepakati dan dirasakan efeknya oleh orangtua dan anak, bukan hanya oleh orangtua saja atau oleh anak saja.

Itu saja yang dapat disampaikan, mudah-mudahan dapat membuka wawasan dan bermanfaat untuk kita semua.

Salam Bahagia..
Mozaik Psikologi..



Rabu, 17 April 2019

Anak dalam perspektif islam

Sumber Gambar : islamkafah.com
Anak merupakan sebuah karunia yang tak ternilai harganya, anak adalah rezeki yang begitu mewah sehingga kita tidak bisa semena-mena, anak adalah titipan dariNya yang wajib kita jaga sekuat tenaga, jutaan orang diluaran sana yang menginginkan memiliki anak, lalu akankah kita masih tidak bersyukur disaat diberikan kesempatan untuk memiliki anak. Akankah kita masih tetap mengeluh dengan segala tingkah laku anak? 

Sebetulnya bagaimana pandangan islam terhadap anak? setidaknya minimal terdapat 5 poin pandangan islam terhadap anak yang dijelaskan dalam al-qur'an maupun haditsnya. Baiklah langsung saja kita bedah satu persatu ya.

1. Anak adalah investasi dunia dan akhirat karena anak adalah amanah Allah SWT
Memiliki seorang anak tentunya bukan hanya investasi untuk dunia saja, namun tentu investasi untuk akhirat. Jika orangtua mampu berinvestasi dengan tepat maka tentunya anak akan sangat menguntungkan baik itu di dunia ataupun diakhirat, namun sebaliknya jika orangtua tidak mampu berinvestasi dengan tepat maka jelaslah hal merugikanpun dapat mulai terasa ketika di dunia dan berlanjut di akhirat. Naudzubillah.

Investasi seperti apa yang dimaksud disini? berupa apa ya investasinya? investasi dari orangtua ke anak bisa berupa ilmu pengetahuan akan segala hal, baik itu ilmu duniawi ataupun ilmu ukhrawi. Ilmu yang orangtua tanamkan kepada anak sedari kecil akan menjadi investasi untuk anak hidup selama dewasa. Maka dari itu ilmu yang diberikan kepada anak haruslah tepat.

Mengapa kita wajib memberikan yang terbaik untuk anak? karena anak adalah amanah dari Allah SWT. Ia adalah titipan yang nyata yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Hal tersebut termaktub jelas dalam QS Al- Maarij ayat 32 yang berbunyi seperti ini :


وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya) dan janjinya.


Amanah disini dijelaskan dalan tafsir jalalain maksudnya adalah perkara agama dan dunia yang dipercayakan kepadanya untuk dijaga sebaik-baiknya.

Termaktub pula dan QS At-tahrim ayat 66 yang berbunyi seperti ini :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya : Hai orang-orang beriman, perihalarah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 

Jika melihat ayat dan tafsir tersebut maka anakpun termasuk amanah yang harus dipikul oleh orangtua sehingga orangtua wajib menjaga dengan sebaik-baiknya sampai suatu saat anak kita kembali kepada pemiliknya.

2. Anak adalah ujian
Tak sedikit orangtua yang merasa kesal dan marah ketika perilaku anak tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan sampai pada titik orangtua melakukan kekerasan fisik. Orangtua hanya senang ketika anak baik-baik saja, diam-diam saja, anak berprestasi namun melakukan hal sebaliknya ketika anak tak berperilaku baik-baik saja. Ketika anak melakukan kesalahan orangtua membentak sekeras-kerasanya namun ketika anak melakukan kebaikan ibu tidak mengapresiasi sama sekali.

Seimbanglah dalam berperilaku, jika anak melakukan kesalahan tergurlah dengan cara yang ma'ruf dan jika anak melakukan kebaikan apresiasi lah. Jangan sampai terus-terusan fokus dengan kesalahan anak dan mengesampingkan kebaikan anak.

Dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh Ahmad 17403, Ibnu Majah 3669, dan dishahihkan oleh Syuaib Al- arnauth yang artinya adalah :

" Siapa yang memiliki tiga anak perempuan lalu dia bersabar, memberinya makan, minum, pakaian dari hasil usahanya maka semuanya akan menjadi tameng dari neraka pada hari kiamat"

Sesuai hadits di atas sangatlah jelas jika orangtua bersabar maka balasannya adalah selamat dari neraka, kenapa orangtua harus sabar? ya karena anak adalah ujian. 

Dalam hadits lain disebutkan bahwa orangtua dilarang mempersulit anak dan harus menggembirakannya.

" Ajarlah, permudahlah dan jangan persulit, gembirakanlah dan jangan ditakut-takuti, jika saalah seorang dari kalian marah maka hendaklah berdiam diri " ( HR Ahmad & Bukhari).

Yang perlu digarisbawahi pada keterangan di atas adalah bahwa ketika orangtua marah hendaklah berdiam diri, bersabarlah karena memang anak adalah ujian.

3. Anak adalah penolong
Selain anak adalah ujian, anak juga adalah penolong untuk orangtuanya. Penolong seperti apa maksudnya ya? kita lihat 2 hadits di bawah ini :


إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Artinya : Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat hamba-Nya yang shalih di syurga, maka ia bertanya : "wahai rabbku, darimana ini bisa terjadi?" maka Allah menjawab " dari istighfar anakmu kepadamu". ( HR Bukhari dalam Adab Mufrad, dari A bu Hurairah)

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya : Jika seseorang meninggal maka terputusalah semua amalannya kecuali tiga perkara ( yaitu ) shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do'a anak shaleh ( HR Muslim).

Sesuai hadits di atas sangatlah luar biasa ketika anak mampu menjad penolon g orangtuanya bukan hanya di dunia saja, namun di kehidupan abadi yaitu akhirat. Hanya ada satu syarat anak yang mampu mengangkat derajat orangtua dan do'a sampai pada orangtua meskipun orangtua sudah meninggal, apa itu? syaratnya adalah anaknya harus sholih. 

Anak yang tidak sholoh akankah mampu beristighfar kepada allah karena orangtuanya? anak yang tidak sholeh akankah mampu berdoa'a untuk kedua orangtuanya?

Maka fokus orangtua saat ini adalah jadikanlah anak kita anak yang sholih, bagaimana caranya? orangtua dulu yang harus sholih maka anak akan meniru.

4. Anak adalah qurrata a'yun/penyejuk mata
Anak terlahir ke dunia membawa kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, mendengar tangisan anak, senyuman anak, anak berbicara, semua hal membuat orangtua merasa bahagia. Namun kebahagiaan itu seringkali tidak disyukuri hanya karena secuil kesalahan anak. Padahal justru orangtua lah yang berhutang banyak kepada anak, di saat orangtua sedang penat lalu melihat wajah anak, penat tersebut seketika hilang. Bukankah hal tersebut sering tidak terjadi tanpa kita sadari, anak adalah penyejuk mata untuk kedua orangtuanya yang tak lekang oleh waktu.

Hal tersebut termaktub dalam QS Al- imran ayat 14 yang berbunyi seperti ini :


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ 
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Artinya : Dijadikan indah pada ( pandangan) manusia kecintaan akan apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik. 

Dalam surat tersebut jelaslah disebutkan bahwa anak-anak adalah termasuk perhiasan dunia sehingga pada akhirnya mampu menjadi penyejuk mata untuk orangtuanya.

5. Anak lahir dalam keadaan fitrah
Dalam dunia psikologi disebutkan bahwa ketika anak terlahir ia seperti kertas kosong yang tidak ada isinya. Lalu bagaimana islam memandang hal ini? Kita sajikan terlebih dahulu keterangannya ya.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

" Setiap anak yang terlahir ke dunia adalah fitrah, tinggal kedua orangtuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi". ( HR Bukhari)

Dalam islam anak adalah fitrah, fitrah disini dijelaskan dalam beberapa tafsir maksudnya adalah fitrah beragama islam. Sehingga orangtuanya lah yang menentukan apakah ia beragama selain islam. Jadi tidak tepat ya kalau mengatakan bahwa fitrah tersebut maksudnya adalah anak adalah kertas kosong yang tidak paham apapun. 

Namun diluar hal itu, teori terkait anak seperti kertas kosong bisa dikatakan ada benarnya,  karena anak memang belum paham apapun terntang hal duniawi ini, sehingga segala sesuatunya tergantung orangtua, mau melukiskan hal yang bai atau hal buruk pada anak? namun tetap teori ini tidak bisa dikaitkan dengan fitrah, karena jelas fitrah disana adalah beragama islam, menyembah allah, jadi sudah ada perjanjian sebelumnya dengan Allah.

Sekian sedikit penjelasan terkait anak dalam persepektif islam, masih banyak indikator terkait anak dalam islam, yang di atas hanyalah gambaran umum saja.

Semoga bermanfaat.

Salam Bahagia.
Mozaik Psikologi.

Rabu, 27 Maret 2019

Konformitas : Perilaku Ikut-Ikutan

Sumber Gambar : dictio.id
Apa sebetulnya yang dimaksud dengan konformitas? singkatnya konformitas bisa disebut sebagai perilaku ikut-ikutan. Jelasnya seperti yang disampaikan oleh Sears, Freedman & Peplau ( 1985) menyatakan bahwa konformitas adalah menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya.

Sesuai penjelasan di atas rasanya konformitas sangat cocok sekali jika dibahas melihat fenomana saat ini dimana banyak orang melakukan konformitas. Berperilaku hanya karena orang lainpun melakukannya dan terkadang tidak tau betul alasan dibaliknya.

Maka dari itu penulis coba memaparkan mengenai penyebab apa saja yang membuat seeorang menyesuaikan diri / melakukan konformitas. Chek it out !!!

Sears, Freedman & Peplau ( 1985) menyatakan bahwa ada dua alasan utama mengapa seseorang menyesuaikan diri, yaitu karena perilaku orang lain memberikan manfaat dan ingin diterima secara sosial serta menghindari celaan.

1. Kurangnya Informasi
Orang melakukan konformitas penyebab pertamanya karena kurangnya informasi sehingga ia merasa bahwa orang lain memiliki informasi yang tidak dimiliki olehnya dan akhirnya ia mengikuti perilaku orang lain tersebut. Oleh dari itu, tingkat konformitas yang didasarkan pada aspek informasi memiliki dua aspek diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Kepercayaan terhadap kelompok, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai informan yang benar maka semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok, ia akan mengikuti apapun yang dilakukan kelompoknya tanpa peduli dengan pendapat dirinya sendiri saking menganggap bahwa kelompoknya selalu benar. 
  • Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian diri sendiri, salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konformitas adalah timgkat keyakinannya terhadap kemampuannya sendiri untuk berperilaku dan menampilkan suatu reaksi, ketika seseorang lebih percaya diri dengan pendapatnya sendiri maka konformitaspun menjadi menurun.
Sumber Gambar : wonderspsychology.com
2. Rasa Takut terhadap Celaan Sosial
Alasan kedua yang utama munculnya konformitas adalah karena adanya rasa takut terhadap celaan sosial yang pada akhirnya ia berusaha menyesuaikan diri dan berperilaku seperti orang lain. Terdapat beberapa faktor yang menentukan bagaimana pengaruh celaan sosial terhadap tingkat konformitas, diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Rasa Takut terhadap penyimpangan, kebanyakan orang tidak ingin dipandang sebagai orang yang lain dari lain, kita ingin agar kelompok yang berada di sekitar kita menyukai dan menerima kita sehingga jika berselisih perasaan khawatir muncul. Orang yang tidak mau mengikuti apa yang berlaku dalam kelompok akan dianggap menyimpang dan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Oleh karena hal tersebut maka tingkat konformitaspun menjad lebih tinggi. 
  • Kekompakan Kelompok, peningkatan konformitas bisa terjadi karena adanya kekompakan dalam kelompok, kekompakan yang tinggi akan menimbulkan konformitas yang tinggi pula, hal tersebut disebabkan karena bila seorang anggota kelompok dekat dengan anggota kelompoknya yang lain tentunya akan terasa menyenangkan jika diakui dan terasa menyakitkan jika dicela sehingga perilaku menyesuaikan diri pun akan semakin tinggi karena kecenderungan seseorang ialah ingin diakui. 
  • Kesepakatan Kelompok, orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat maka akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya, namun bila kelompok tidak bersatu maka akan adanya penurunan tingkat konformitas, bahkan meskipun ada satu orang saja yang tidak sepakat maka tingkat konformitas akan menurun sekitar seperempat dari tingkat umumnya. 
  • Ukuran Kelompok, maksud ukuran kelompok disini misalnya adalah misalnya ada dua orang dalam satu ruangan dan satu orang menyebutkan ruangan tersebut dingin padahal satu orang lagi menganggap bahwa ruangan tersebut adalah hangat, maka orang kedua tidak akan percaya diri dengan pendapatnya, berbeda halnya jika dalam ruangan tersebut ada lima orang dan empat orang menyatakan bahwa ruangan tersebut hangat dan satu orang dingin, maka yang satu orang tersebut justru akan merasa bahwa ada yang salah dengan penilaiannya, itulah yang dimaksud ukuran kelompom disini. 
Demikian sedikit pemaparan terkait maksud dari konformitas dan penyebab yang melatarbelakanginya, ketika sudah mengetahui penyebabnya maka seyogyanya kita mampu menurunkan tingkat konformitas. 

Semoga artikel ini bermanfaat.

Salam Bahagia.
Mozaik Psikologi. 

DAFTAR PUSTAKA

Sears, Freadman, Peplau. ( 1985). Psikologi Sosial. Jilid 2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.