Sumber Gambar: nationalgeoghrapic.grid.id |
Sebelum mengenal lebih jauh tentang skizofrenia hanya merasa ada insight untuk menuliskannya, itu saja. Maka dari itu, mari kita coba bedah hal-hal yang berkaitan dengan skizofrenia, dimulai dari maksud skizofrenia itu sendiri sampai pada bagaimana terapi yang harus dilakukan pada penderita skizofrenia menurut para ahlinya, chek it out.
Menurut Chaplin (2011) skizofrenia adalah sebuah nama umum untuk sekelompok reaksi psikotis yang dicirikan dengan pengunduran atau pengurungan diri, gangguan emosional dan afektif, serta adanya halusinasi, delusi, tingkah laku negativistis dan adanya kemunduran berikut kerusakan yang progresif.
Sedangkan dalam buku psikologi abnormal yang disusun oleh Davison, Neale & Kring (2012) menyatakan bahwa skizofrenia adalah salah satu gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama pada pikiran, emosi dan perilaku yang terganggu, sehingga membuat berbagai pemikiran menjadi tidak saling berhubungan secara logis, adanya persepsi dan perhatian yang keliru, afeksi yang datar dan berbagai gangguan motorik yang bizzare. Penderita skizofrenia ini menarik diri dari orang lain dan kenyataan serta seringkali berfantasi yang penuh dengan delusi dan halusinasi.
Sesuai dengan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia itu adalah gangguan psikotik pada individu yang ditandai dengan adanya gangguan pada pikiran, emosi dan perilaku. Gangguan pada pikiran berupa delusi, halusinasi yang tentunya membuat pikiran tidak berhubungan secara masuk akal. Gangguan pada emosi berupa afeksi yang datar dan menarik diri dari orang lain. Gangguan perilaku berupa aktifitas motorik yang tidak karuan/tidak jelas dan dalam kondisi parah bisa merusak diri sendiri dan orang lain.
Bagaimana Sejarah Konsep Skizofrenia?
Selanjutnya, sebelum mengetahui tentang bagaimana simptom dari skizofrenia alangkah lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu tentang bagaimana sejarah asal mula nya bisa muncul konsep skizofrenia ini. Sejarah konsep skizofrenia ini dan semua materi yang akan dipapaparkan semuanya merujuk pada buku psikologi abnormal yang disusun oleh Davison, Neale & Kring (2012) yang dirangkum sehingga lebih mudah dipahami. Untuk sejarah konsep skizofrenia dalam buku tersebut dinyatakan bahwa pelopor munculnya istilah skizofrenia dimulai oleh seorang psikiater berkebangsaan Jerman bernama Emil Kraepelin dan psikiater berkebangsaan Swiss bernama Eugen Bleuler.
Emil Kraepelin mengemukakan gambaran mengenai dementia praecox yang menjad istilah awal skizofrenia pada tahun 1898 yang telah terbukti dapat bertahan dalam penelitian kontemporer. Lalu, bagaimana konsep dementia praecox ? dementia praecox ini mencakup beberapa konsep diagnostik yaitu dimensia paranoid, katatonia dan hebefrenia yang dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu.
Secara istilah, praecox berarti terjadi pada usia awal dan demensia berarti perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorisasi intelektual yang progresif. Namun, demensia dalam demensia praecox tidak sma dengan demensia yang ditandai dengan kerusakan memori yang parah, yang dimaksud demensia disini adalah kelemahan mental pada umumnya.
Namun berbeda halnya dengan Eugen Bleuler yang memiliki pendapat berbeda dengan yang disampaikan oleh Emil Kraepelin, ia berpendapat bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini dan ia pun yakin bahwa gangguan ini tidak akan berlanjut menjadi demensia, pendapat tersebut tentunya mematahkan pendapat yang disampaikan oleh kraepelin sehingga sebutan dementia praecox tidak dapat digunakan kembali.
Kemudian pada tahun 1908, Bleuler memberikan istilahnya sendiri terkait gangguan ini, yaitu skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizein dan phren. Schizein artinya membelah dan phren artinya akal pikiran. Sehingga dari kedua kata tersebut dapat mencakup karakteristik utama dari gangguan tersebut, yang tentunya istilah skizofrenia ini digunakan hingga saat ini. Itulah sumbangsih Bleuler mengenai skizofrenia dan tentunya yang menciptakan istilah ini.
Selanjutnya sejarah munculnya konsep ini tidak hanya sampai disitu saja, namun diperluas di wilayah Amerika Serikat. Bleuler selama parauh abad ke-20 memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia di Amerika Serikat yang akhirnya diagnosis tersebut semakin meluas. Contohnya di New York State Psychiatric Institute yang sekitar 20 persen pasiennya di diagnosis sebagai skizofrenia pada tahun 1930 an, dimana pada tahun 1940 angka tersebut meningkat dan pada tahun 1952 memuncak mencapai angka 80 persen. Namun berbeda dengan yang terjadi di Eropa yang angkanya tetap/konstan lebih sempit dibandingkan di Amerika Serikat contohnya di London di Rumah Sakit Maudsley yang mencapai 20 persen selama kurun waktu 40 tahun ( Kuriansky, Deming & Gurland, 1974).
Bagaimana Simptom Klinis Skizofrenia?Kemudian pada tahun 1908, Bleuler memberikan istilahnya sendiri terkait gangguan ini, yaitu skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizein dan phren. Schizein artinya membelah dan phren artinya akal pikiran. Sehingga dari kedua kata tersebut dapat mencakup karakteristik utama dari gangguan tersebut, yang tentunya istilah skizofrenia ini digunakan hingga saat ini. Itulah sumbangsih Bleuler mengenai skizofrenia dan tentunya yang menciptakan istilah ini.
Selanjutnya sejarah munculnya konsep ini tidak hanya sampai disitu saja, namun diperluas di wilayah Amerika Serikat. Bleuler selama parauh abad ke-20 memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia di Amerika Serikat yang akhirnya diagnosis tersebut semakin meluas. Contohnya di New York State Psychiatric Institute yang sekitar 20 persen pasiennya di diagnosis sebagai skizofrenia pada tahun 1930 an, dimana pada tahun 1940 angka tersebut meningkat dan pada tahun 1952 memuncak mencapai angka 80 persen. Namun berbeda dengan yang terjadi di Eropa yang angkanya tetap/konstan lebih sempit dibandingkan di Amerika Serikat contohnya di London di Rumah Sakit Maudsley yang mencapai 20 persen selama kurun waktu 40 tahun ( Kuriansky, Deming & Gurland, 1974).
Simtom-simtom/gejala-gejala gangguan skizofrenia ini tidak seperti gangguan lainnya yang homogen, gangguan ini lebih heterogen yang artinya para pasien skizofrenia dapat berbeda antara satu dan yang lainnya dibandingkan gangguan lain yang cenderung homogen, sehingga tidak ada simtom penting yang harus ada untuk menentukan diagnosis skizofrenia, namun tetap saja secara umum terdapat tiga kategori simtom utama untuk gangguan skizofrenia yaitu simtom positif, simtom negatif dan simtom disorganisasi, dan ada simtom lainnya yang tidak termasuk ke dalam ketiga kategori di atas.
1. Simtom Positif
Simtom positif ini mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi seperti delusi ( waham) dan halusinasi yang menjadi ciri episode akut skizofrenia. Lalu, apa yang dimaksud dengan delusi dan halusinasi tersebut?
- Delusi ( Waham) adalah suatu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan yang merupakan simptom positif yang umumnya terjadi pada pasien skizofrenia, selain dari itu waham juga mempunyai bentuk lain yang beberapa diantaranya dipaparkan oleh Kurt Schneider ( 1959) yang merupakan psikiater berkebangsaan Jerman yang dikutip oleh Mellor ( 1970). Gambaran tersebut diantaranya adalah : Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dalam dirinya dimasukan ke dalam pikirannya oleh sumber eksternal, pasien yakin bahwa pikirannya disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang lain tahu apa yang mereka pikirkan, pasien berpikir bahwa pikirannya telah dicuri secara tiba-tiba oleh suatu kekutan eksternal, beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh kekuatan eksternal.
- Halusinasi adalah suatu pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkungan dan yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditori, bukan visual sehingga 74 persen dari suatu sampel mengalami halusinasi auditori ( Sartorius dkk, 1974). Halusinasi dianggap pernting karena sering terjadi pada pasien skizofrenia dibandingkan pada gangguan psikotik lainnya. Tipe-tipe halusinasi yang dikutip dari Mellor ( 1970) diantaranya adalah : Beberapa pasien menyatakan bahwa mereka mendengarkan pikiran meereka diucapkan oleh suara lain, beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-suara yang saling berdebat, beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka.
2. Simtom Negatif
Simtom-simtom negatif ini mencakup berbagai defisit behavioral seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan asosialitas, dimana simtom ini cenderaung bertahan melampaui episode akut dan memiliki efek yang parah terhadap kehidupan pasien. Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah simtom-simom di atas.
- Avolition atau apati adalah kondisi kurangnya energi dan ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan aktifitas rutin. Pasien tidak tertarik untuk sekedar berdandan dan membersihkan diri, rambut tidak disisir, kuku kotor, gigi tidak disikat dan pakaian yang berantakan. Pasien mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehar-hari dalam pekerjaan, sekolah dan bahkan rumah tangga sehingga mereka dapat menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun.
- Alogia merupakan gangguan pikiran negatif yang dapat terwujud dalam beberapa bentuk, salah satu contohnya dalam hal percakapan, percakapan mereka cenderung rendah sehingga jumlah total percakapan sangat jauh berkurang. Meskipun jumlah percakapan memadai namun percakapan tersebut tidak mengandung informasi yang mumpuni dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
- Anhedonia merupakan ketidakmampuan merasakan kesenangan yang tercermin dari kurangnya minat dalam berbagai aktifitas rekreasi, gagal mengembangan hubungan dekat dengan orang lain serta kurangnya minat dalam hubungan seks. Pasien ini menganggap apa yang biasanya dianggap aktivitas menyenangkan oleh orang lain, menurut mereka tidaklah demikian.
- Afek Datar maksudnya adalah hampir tidak ada stimulus untuk pasien memunculkan respon emosional, pasien menatap dengan pandangan yang kosong, otot-otot wajah kendur dan mata meraka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan datar dan tanpa nada. Afek datar ini terjadi pada 66 persen dari suatu sampel besar pasien skizofrenia ( Sartorius dkk, 1974). Namun perlu dipahami bahwa afek datar ini merujuk pada ekspresi emosi yang tampak bukan pada pengalaman dalam diri pasien, yang bisa saja tidak mengalami masalah.
- Asosialitas dapat diartikan sebagai ketidakmampuan parah dalam menjalin hubungan soaial dimana mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan sosial rendah dan sangat kurang berminat untuk berkumpul dengan orang lain.
Sumber Gambar : pexels.com |
3. Simtom Disorganisasi
Simtom-simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku yang aneh ( Bizzare), selanjutnya dibawah ini akan dijelaskan bagaimana gejala tersebut.
- Disorganisasi Pembicaraan yang juga dikenal dengan gangguan berpikir formal yang merujuk pada masalah dalam mengorganisasikan berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Pasien kadang terjadi inkoherensi dalam percakapannya sehingga meskipun pasien berulang kali merujuk pada pemikiran atau tema sentral, namun tetap saja berbagai citra dan potongan pikiran tidak saling berhubungan satu sama lain sehingga sulit untuk memahami dengan pasti apa yang ingin disampai oleh pasien. Pasien juga sering terganggu dengan melakukan asosiasi longgar atau keluar jalur sehingga tetap mengalami kesulitan untuk tetap berada dalam satu topik, hal tersebut disebabkan karena terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran yang berasal dari pemikiran sebelumnya.
- Perilaku Aneh ( Bizzare) terwujud dalam beberapa bentuk, misalnya adalah pasien dapat meledak dalam kemarahan yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah dan melakukan perilaku seksual yang tidak pantas seperti masturbasi di tempat umum. Pasien kesulitan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan standar masyarakat serta kesulitan mngerjakan tugas untuk kehidupan sehari-hari.
4. Simtom Lain
Terdapat simtom lain yang tidak tepat jika dimasukan ke dalam tiga kategori di atas, yaitu simtom katatonia dan afek yang tidak sesuai. Bagaimana penjelasannya?
- Katatonia memiliki ciri utama berupa abnormalitas motorik, misalnya pasien melakukan gerakan berulang kali, melakukan urutan aneh atau kadang kompleks antara gerakan jari, tangan dan lengannya yang seringkali terlihat memiliki tujuan tertentu. Selain itu, pasien menunjukan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian dalam waktu yang sangat lama. Pasien dapat berdiri dengan satu kaki dan kaki lainnya ditekuk ke arah pantat dan tetap dalam posisi tersebut hampir sepanjang hari. Bahkan pasien katatonik juga dapat memiliki fleksibilitas lilin dimana orang lain dapat menggerakan badan pasien dalam posisi aneh yang akan dipertahankan olehnya dalam waktu yang sangat lama.
- Afek yang tidak sesuai maksudnya adalah respon yang diberikan pasien diluat konteks yang seharusnya, misalnya pasien dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa ibunya meninggal dan marak ketika ditanya hal yang sederhana, pasien dapat dengan cepat berubah dari satu kondisi emosional ke kondisi emosinal lainnya tanpa alasan yang jelas. Simtom ini jarang terjadi, namun jika terjadi tentunya memiliki kepentingan diagnostik yang besar karena simtomnya relatif spesifik untuk pasien.
Etiologi atau penyebab munculnya gangguan psikotik skizofrenia tentunya perlu diketahui, setelah membahas mengenai apa itu skizofrenis, bagaimana sejarah munculnya konsep tersebut dan simtom-simtom apa saja yang muncul, rasanya timbul rasa penasaran mengenai apa sebetulnya yang menjadi penyebab munculnya gangguan tersebut, sangat disayangkan jika etiologi tidak dikupas tuntas dalam pembahasan setiap gangguan psikologi. Lalu, apa saja etiologi gangguan skizofrenia ini?
1. Faktor Genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu predisposisi bagi skizofrenia diturunkan sevara genetik. Penelitian tersebut melibatkan keluarga, saudara kembar dan adopsi seperti halnya dalam penelitian perilaku genetik lainnya yang mengarahkan peneliti menyimpulkan bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia diturunkan secara genetik. Selanjutnya akan lebih dijelaskan maksud dari pengaruh faktor genetik di bawah ini :
- Studi Keluarga menjadi salah satu predisposisi munculnya gangguan skizofrenia, hal ini sesuai dengan hasil penelitian di atas yang menyatakan bahwa data yang diperoleh mendukung teori bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia dapat diturunkan secara genetik. Perilaku orang tua yang menderita skizofrenia dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, sehingga pengaruh lingkungan pun tidak dapat diabaikan begitu saja.
- Studi Orang Kembar memiliki pengaruh pula seperti halnya studi keluarga, dalam tabel di atas jelas terlihat masalah kritikal dalam menginterpretasi hasil-hasil studi terhadap orang kembar. Realitanya, kesamaan lingkungan yang menyimpang dapat berperan pula dalam porsi tingkat kesesuaian tersebut, bukan hanya faktor genetik. Kesamaan disini bukan hanya pola asuh saja, namun juga lingkungan di dalam rahim yang memiliki kesamaan, misalnya untuk kembar identik lebih mendapatkan pengaruh karena mendapatkan pasokan darah yang sama dibandingkan kembar tidak identik.
- Studi Adopsi dilakukan terhadap anak-anak dari ibu yang menderita skizofrenia namun sejak bayi dibesarkan oleh orang tua adopsi nonskizofrenik yang telah memberikan informasi yang lebih meyakinkan mengenai peran gen dalam skizofrenia dengan menghilangkan pengaruh lingkungan yang menyimpang. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah sebanyak 66 persen anak yang memiliki ibu skizofrenik menerima suatu diagnosis DSM.
- Evaluasi Data Genetik tentunya sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu ilmu, data genetik yang diperoleh mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik berperan penting dalam terjadinya skizofrenia. Setelah studi dilakukan baik itu terhadap keluarga, orang kembar ataupun anak adopsi ternyata hampir menghilangkan potensi lingkungan yang membingungkan. Namun terlepas dari semua permasalahan yang ada, data yang ada pun merupakan sekumpulan bukti yang mengesankan dan tentunya menjelaskan adanya korelasi positif yang kuat antara hubungan kekerabatan dan prevalensi skizofrenia.
2. Faktor Biokimia
Adanya faktor genetik yang menjadi etiologi gangguan skizofrenia menunjukkan bahwa faktor biokimia pun perlu diteliti mengingat melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan dapat berpengaruh. Dalam hal ini faktor yang paling baik untuk dikaji ulang adalah aktifitas dopamin dalam tubuh.
Aktivitas Dopamin pada penderita skizofrenia tentunya memiliki keterkaitan, mengingat adanya aktivitas neurotransmitter yang berlebihan yaitu neurotransmitter dopamin, hal ini didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang digunakan untuk menengani penderita skizofrenia tujuannya untuk menurunkan aktivitas dopamin.
Namun ternyata setelah dilakukan evaluasi data biokimia, seiring banyaknya penelitian terkait hal ini terdapat kesimpulan bahwa meskipun dopamin tetap merupakan variabel biokimia yang paling aktif diteliti, hal tersebut tidak mungkin dapat menjelaskan lengkap mengenai biokimia skizofrenia karena skizofrenia merupakan gangguan dengan simtom-simtom yang luas yang mencakup persepsi, kognisi, aktivitas motorik dan perilaku sosial. Para peneliti akhirnya mulai menabar jaring biokimia yang lebih lebar sehingga glutamat dan serotonin dapat berada di jalur terdepan yang tentunya tetap dikombinasikan dengan aktivitas dopamin selama penelitian dilakukan.
3. Adakah kaitan Otak dan Skizofrenia?
Sejak gangguan skizofrenia terindikasi, penelitian mulai dilakukan untuk melihat adakah abnormalias pada otak orang yang normal dan penderita skizofrenia, seiring dengan kemajuan teknologi penelitian ini memiliki beberapa bukti yang menjanjikan. Beberapa pasien menunjukan adanya patologi pada otak yang tentunya dapat di observasi lebih lanjut.
Analisis dilakukan pascakematian penderita skizofrenia, dimana terdapat temuan yang paling konsisten yaitu adanya pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Temuan lain yang cukup konsisten pula adalah adanya abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbik seperti hipokampus dan basal ganglia serta pada korteks prefrontalis dan temporal ( Dwork, 1997 ; Heckers, 1997).
Mengingat banyaknya permasalahan otak pada penderita, maka penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan otak dengan skizofrenia. Setelah diketahui bahwa simtom-simtom skizofrenia mengimplikasi banyak daerah otak, penelitian yang dilakukan pun menjadi lebih spesifik yaitu berupaya menemukan cedera dan meneliti pula sistem-sistem neural serta bagaimana cara daerah berbagai daerah otak yang berbeda saling berinteraksi. Penelitian yang dilakukan mulai mengarah pada kemungkinan peran dari berbagai macam struktur otak dalam skizofrenia ( Byne dkk., 2002; Gilbert dkk., 2001).
Sejak gangguan skizofrenia terindikasi, penelitian mulai dilakukan untuk melihat adakah abnormalias pada otak orang yang normal dan penderita skizofrenia, seiring dengan kemajuan teknologi penelitian ini memiliki beberapa bukti yang menjanjikan. Beberapa pasien menunjukan adanya patologi pada otak yang tentunya dapat di observasi lebih lanjut.
Analisis dilakukan pascakematian penderita skizofrenia, dimana terdapat temuan yang paling konsisten yaitu adanya pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Temuan lain yang cukup konsisten pula adalah adanya abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbik seperti hipokampus dan basal ganglia serta pada korteks prefrontalis dan temporal ( Dwork, 1997 ; Heckers, 1997).
Mengingat banyaknya permasalahan otak pada penderita, maka penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan otak dengan skizofrenia. Setelah diketahui bahwa simtom-simtom skizofrenia mengimplikasi banyak daerah otak, penelitian yang dilakukan pun menjadi lebih spesifik yaitu berupaya menemukan cedera dan meneliti pula sistem-sistem neural serta bagaimana cara daerah berbagai daerah otak yang berbeda saling berinteraksi. Penelitian yang dilakukan mulai mengarah pada kemungkinan peran dari berbagai macam struktur otak dalam skizofrenia ( Byne dkk., 2002; Gilbert dkk., 2001).
Sumber Gambar : etd.respositoy.ugm.ac.id |
4. Stress Psikologis dan Skizofrenia
Sebelumnya sudah dibahas tentang adanya pengaruh bilogis terhadap skizofrenia, sekarang kita beralih ke faktor psikologis, adakah pengaruhnya?
Stress psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan keerentanan biologis yang memunculkan gangguan ini. Data menunjukkan bahwa sama halnya dengan gangguan lainnya, stress psikologis meningkatkan terjadnya kekambuhan ( Hirsch dkk., 1996; Ventura dkk., 1989).
Lalu apa saja yang berkaitan dengan stress psikologis? terdapat dua stressor yang merupakan bagian yang paling penting yaitu kelas sosial dan keluarga.
Sebelumnya sudah dibahas tentang adanya pengaruh bilogis terhadap skizofrenia, sekarang kita beralih ke faktor psikologis, adakah pengaruhnya?
Stress psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan keerentanan biologis yang memunculkan gangguan ini. Data menunjukkan bahwa sama halnya dengan gangguan lainnya, stress psikologis meningkatkan terjadnya kekambuhan ( Hirsch dkk., 1996; Ventura dkk., 1989).
Lalu apa saja yang berkaitan dengan stress psikologis? terdapat dua stressor yang merupakan bagian yang paling penting yaitu kelas sosial dan keluarga.
- Kelas Sosial pada penderita skizofrenia tidak menunjukan tingkat kejadian yang semakin tinggi seiring kelas soaial terendah, namun terdapat jumlah perbedaan yang signifikan antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial rendah dan kelas sosial yang lainnya. Studi klasik yang dilakukan oleh Hollingshead dan Redlich selama sepuluh tahun mengenai kelas sosial dan penyakit mental di New Haven, menunjukan tingkat kejadia skizofrenia di kelas sosial terendah ditemua dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelas sosial di atasnya. Hasil penelitian tersebut telah dikonfirmasi secara lintas budaya melalui studi sejenis di berbagai negara seperti Denmark, Norwegia dan Inggris ( Kohn, 1968).
- Keluarga merupakan salah satu hal penting yang menjadi etiologi skizofrenia, berbagai studi terhadap keluarga individu penderita skizofrenia mengungkapkan bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dengan keluarga yang normal, dimana keluarga penderita skizofrenia menunjukkan pola komunikasi yang membingungkan dan mendapati tingkat konflik yang tinggi, oleh karena itu adanya kemungkinan bila konflik dan komunikasi yang membingungkan tersebut merupakan akibat dari adanya anggota keluarga yang berusia muda yang menderita skizofrenia.
Bagaimana Terapi Skizofrenia?
Menangani pasien yang memiliki gangguan psikotik skizofrenia tentunya bukanlah hal yang mudah mengingat beragamnya simtom yang ada yang tentunya terapinya tidak bisa disamaratakan sehingga butuh kompetensi terapis untuk mengefektifkan proses terapi.
Selain dari itu, yang menjadi masalah dalam penanganan pasien skizofrenia adalah banyak pasien yang kurang memiliki insight atas gangguannya sehingga melokak semua proses terapi yang diberikan ( Amador dkk., 1994).
Sebelum masuk kepada bagaimana proses terapi, penting untuk diketahui bahwa ketepatan suatu terapi tergantung pada tahap penyakit pasien, jika pasien masuk kedalam pasien akut maka pelatihan keterampilan sosial ataupun intervensi lain tidak mungkin akan berhasil mengingat kondisi pasien yang benar-benar terganggu dimana pasien tidak mampu untuk berkonsentrasi dengan apa yang dikatakan oleh terapis sehingga pasien memerlukan pengobatan psikoaktif terlebih dahulu, setelah pasien mulai membaik maka intervensi psikologis dapat dilakukan secara bertahap dan dosis obat pun dapat dikurangi seiring pasien mulai mengurangi stress yang memicu munculnya simptom ( Kopelwiczm Liberman & Zarate, 2002).
Berikut akan dipaparkan bentuk terapi untuk pasien skizofrenia, terdiri dari dua penanganan yaitu biologis dan psikologis.
- Terapi Kejut dan Psychosurgery, sejarah munculnya terapi ini bermula pada awal tahun 1930 an dimana praktik dengan memberikan insulin dalam dosis yang tinggi sehingga menimbulkan koma, dan terdapat temuan lainnya yang kurang lebih sama yang pada akhirnya dianggap tidak efektif karena bisa menimbulkan pasien koma bahkan kematian. kemudian pada tahun 1935, seorang psikiater berkebangsaan portugis bernama Moniz memperkenalkan lobotomi prefrontalis yang kemudian disebut psychosurgery yang ternyata tidak hanya pasien skizofrenia saja yang ditangani dengan metode ini, prosedur yang dilakukan dengan cara melakukan pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian bawah dengan tujuan mengurangi perilaku agresif, namun metode ini pun pada beberapa tahun kemudiannya mendapat reputasi yang buruk pula karena beberapa alasan dan akhirnya ditinggalkan.
- Terapi Obat, terapi obat dipercaya mampu mengurangi berbagai ekses nehavioral dan emosional pada banyak pasien sehingga pada tahun 1950 an terdapat obat-obat antipsikotik atau neuroleptik yang menimbulkan efek samping yang sama dengan penyakit neurologis. Terapi obat ada obat-obatan antipsikotik tradisional dan terapi obat terbaru, yang intinya adalah bahwa obat-obatan antipsikotik merupakan bagian yang tidak dapat dihapuskan mengingat keberhasilan klozapin, olanzapin dan risperidon yang mendorong upaya berkesinambungan untuk menangani pasien skizofrenia, dan obat-obatan lainnya yang terus dikembangkan.
Sumber Gambar : genmuda.com |
- Terapi Psikodinamika, bapak psikoanalisa freud tidak banyak memberikan sumbangan terkait pasien skizofrenia baik dalam bentuk praktis ataupun artikelnya, ia berpendapat bahwa pasien ini tidak mampu mengembangkan hubungan interpersonal terbuka yang penting untuk analisis. Namun Harry Stack Sullivan mempelopori penggunaan psikoterapi untuk pasien skizofrenia dengan membangun sebuah bangsal di Rumah Sakit Sheppard dan Enoch Pratt di Towson, Maryland pada tahun 1923 dan melakukan penangan psikologis yang dianggap berhasil. Sullivan merekomendasikan jika melakukan terapi duduk agak disampin terlebih dahulu un tuk menghindari kontak mata mengingat hal tersbut terlalu menakutkan untuk awal-awal, namun jika pasien sudah percaya bisa bertahap untuk mendorong pasien mengkaji hubungan interpersonalnya. Selanjutnya da Gromm Reichmann seorang psikiater berkabangsaan jerman yang membantu mengembangkan berbagai jenis psikoanalisis sebagai penanganan utama skozofrenia. Namun pada akhirnya metode ini hanya bisa digunakan untuk pasien ringan, untuk pasien aktif sangatlah tidak efektif mengingat simtom yang dikeluarkannya begitu menakutkan dan berbahaya.
- Pelatihan Keterampilan Sosial, tujuan pelatihan ini adalah untuk melatih kemampuan bersosialisasi pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Kombinasi bermain peran, modelling dan penguatan positif menghasilkan perbaikan yang signifikan pada pasien, bahkan terjadi generalisasi yang tidak dilatih sebelumnya, studi ini mengindikasikan bahwa pasien dengan gangguan yang parah dapat diajari perilaku sosial baru yang membantu mereka nerperilaku lebih baik, timgkat kekambuhan berkurang dan kualitas hidup yang lebih tinggi ( Kopelowicz dkk., 2002).
- Terapi Keluarga dan Mengurangi Emosi, terapi ini dilakukan kepada keluarga pasien dengan tujuan dapat saling membantu dan memahami kondisi pasien untuk meminimalisir kekambuhan terjadi, edukasi yang disampaikan terapis kepada keluarga meliputi : edukasi tentang skizofrenia yaitu kerentanan biologis dan berbagai masalah kognitif yang melekat pada pasien, informasi tentang pemantauan bebagai efek pengobatan antipsikotik, menghindari saling menyalahkan, memperbaiki cara komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga, mendorong pasien dan keluarga untuk memperluas kontak sosialnya dan menanamkan harapan bahwa pasien akan lebih baik dan bisa untuk tidak kembali dirawat.
- Terapi Kognitif-Behavioral, Sebelumnya diasumsikan bahwa pasien skizofrenia tidak akan efektif jika mencoba mengubah dengan berbagai distorsi kognitif seperti halnya delusi, namun pada realitasnya suatu literatur klinis dan eksperimental saat i ni menunjukan bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif behavioral ( Garety, Fowler & Kuipers, 2000).
- Terapi Personal ( Personal Therapy), terapi ini menurut Hogarty dkk adalah suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap masalah yang dialami para pasien diluar rumah sakit. Penurunan jumlah reaksi emosi anggota keluarga dapat menurunkan tingkat kekambuhan pasien. selain itu, para psien diajarkan mempelajari kekambuhan walaupun itu kecil, pasien juga sering diajari relaksasi otot sebagai alat bantu untuk mengatasi kecemasan. Fokus terapi ini terletak pada psien sebagai individu bukan terhadap keluarga yang tujuannya mengajarkan coping internal pada pasien.
- Terapi Reatribusi ( Reatribution Therapy), Terapi ini dilakukan melalui diskusi kolaboratif dan beberapa pasien dibantu untuk memberikan makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan oleh Beck untuk depresi dan Barlow terhadap gangguan panik ( Beck & Rector, 2000; Drury dkk., 1996; Haddock dkk., 1998).
- Mengamati Fungsi-Fungsi Kognitif Dasar, dalam hal ini yang diamati adalah fungsi-fungsi yang harapannya dapat diperbaiki sehingga dapat mempengaruhi perilaku secara positif, pendekatana ini berkonsentrasi pada upaya menormalkan fungsi-fungsi kognitif yang fundamental seperti perhatian dan memori yang diketahui melemah pada pasien skizofrenia ( a.l., Green, 1993) dan berhubungan dengan adaptasi sosial yang buruk ( Green, 1996; Green, Kern, Braff & Mintz, 2000).
Sumber Gambar : alodokter.com |
Demikian pembahasan singkat mengenai gangguan psikotik skizofrenia, mudah-mudahan dapat dijadikan referensi dan bermanfaat untuk semuanya, mohon maaf atas segala kekurangannya.
Salam Bahagia..
Mozaik Psikologi..
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Davison, D.C., Neale, J.M., Kring, A.M. ( 2012). Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Press.
Jika dirasa bermanfaat, silahkan di klik tombol share dibawah ini !!!
Davison, D.C., Neale, J.M., Kring, A.M. ( 2012). Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Press.
Jika dirasa bermanfaat, silahkan di klik tombol share dibawah ini !!!
0 komentar:
Posting Komentar