Apa itu Parenting?

Parenting realitanya memiliki makna yang luas sehingga tidak hanya sebatas program pengasuhan orang tua terhadap anaknya saja.

Mengenal Gangguan Psikotik Skizofrenia

Bagaimana sebetulnya deskripsi mengenai gangguan psikotik skizofrenia dimulai dari definisi hingga proses terapinya.

Makna Filosofis logo Mozaik Psikologi

Logo Mozaik Psikologi dengan berbagai makna filosofis di dalamnya yang menjadi daya tarik dengan keotentikannya.

Tips Sukses Menyapih dengan Metode WWL ( Weaning With Love)

Sebuah Metode menyapih anak dengan cinta yang efektif untuk tetap menjaga attachment ibu dan anak .

Efektifitas Menggunakan KB Alami untuk Pasutri

Salah satu jenis KB yang bisa menjadi alternatif untuk pasutri tetap menjaga keharmonisan dibarengi kenyamanan fisik dan psikis.

Senin, 16 November 2020

Melejitkan Potensi Unggul Anak ditengah Pandemi

 Melejitkan Potensi Unggul Anak ditengah Pandemi

Oleh : Eva Nur Khofifah, S.Psi., C.Ht.

Especially for : Komunitas Dari Rumah Untuk Peradaban



Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh sahabat komunitas Dari Rumah Untuk Peradaban semuanya...

Saya akan mencoba memaparkan lebih detail dan spesifik terhadap beberapa hal yang memang perlu dijabarkan lebih lanjut dari slide yang sudah dilampirkan. Tujuannya untuk meminimalisir kebingungan dan kekeliruan yangbiasanya jadi salah tafsir jika hanya membaca gambaran umum di slide saja.

Pandemi memang belum usai. Bagaimana diantara kita bersikap tentulah berbeda-beda. Ada yang memang sudah mulai menikmati kebiasaan baru, ada yang justru baru terdampak, adapula yang sudah mulai jenuh, bosan hingga stress melanda. Khususnya untuk orangtua dan anak anak yang notebene bersekolah di sekolah. Kini segala sesuatunya harus di rumah. Di sekolah hanya sesekali saja. Oleh karenanya, mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua harus banting setir. Jika orangtua yang memang terbiasa belajar di rumah dengan anaknya, gak akan terlalu "ngarumas". Namun jika orangtua yang terbiasa menyerahkan segala sesuatunya ke sekolah, bisa mendadak darah tinggi nih, mak. Bahkan mendadak jantungan. Betul apa betul banget?😁


Diantara permasalahan orangtua dan anak selama pandemi adalah SFH (School From Home) alias belajar di rumah dengan sistem daring yang bikin darting πŸ˜‚ yang pada akhirnya membuat emosi orangtua labil, terutama emaknya yang biasa mendampingi anandanya belajar.  Saking pusingnya, tak sedikit pula yang mengerjakan tugas sekolah adalah emak dan bapaknya, dan anaknya yang ongkang kaki saja πŸ˜…


Jika sudah seperti itu, jangankan anak yang tidak mau belajar bersama orangtuanya karena orangtuanya emosian. Orangtua pun ogah mengajarkan anak karena anak susah diatur. Endingnya, sekalipun anak di rumah lebih lama dari biasanya, kedekatan dan kelekatan dengan orangtua justru berkurang bukan semakin meningkat.


Bagaimana solusinya? SABAR. 5 huruf satu kata yang mudah diucapkan, namun realisasinya subhanallah sekali. Banyak kejadian fatal terjadi karena kurang sabar dan akhirnya menyesal karena belum mampu meregulasi emosi dengan luwes. Tidak mudah gak berarti tidak bisa, bukan? menjadi sulit karena memang hadiahnya surga, sekolahnya seumur hidup, latihannya setiap detik.


Sabar bukan berarti diam. Diam ketika anak tidak ada minat belajar. Diam ketika anak meninggalkan kewajibannya, seperti shalat misalnya jika masanya sudah cukup. Diam ketika kita sebagai orangtua terus menerus tidak bisa mengendalikan emosi. Diam ketika anak kita tertekan dan tidak bahagia menjalani harinya. Diam ketika anak tidak mengetahui potensi unggulnya, yang akhirnya anak salah jurusan dan efeknya waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya keluar tidak tepat sasaran. Sabar itu bukan seperti itu ya, sabar itu menerima namun tetap mencari solusi terbaik dari masalah kita.


Badai pasti berlalu. Kebanyakan dari kita terdampak pandemi ini. Terdampak secara materi ataupun psikis, keduanya berjalan beriringan. Jika seorang triliuner, ruginya triliunan. Jika seorang milyader ruginya milyaran, jika seorang jutawan ruginya jutaan, menengah ke atas, menengah ke bawah demikian adanya. Jadi, yuk mari terus beryukur, maka kita akan bahagia. Jika tidak bersyukur, sekalipun uang triliunan, emas berlian tak terhitung, tetap saja akan terasa kurang. Efek psikis pun jelas terasa saat pandemi ini. Orangtua, anak, bahkan guru pun sudah mulai jenuh dan bosan dengan rutinitas yang ada. 


Namun apakah kita akan terus meratapi keadaan atau menyiasati dan fleksibel dengan keadaan? pandemi menjadi peluang untuk mendekatkan diri dengan anak. Kita akan mengetahui betul bagaimana sih sebetulnya minat dan bakat anak itu. Namun jika terus menerus emosi negatif yang hadir, maka celakalah kita.


Seperti tercantum dalam QS Al-Insyirah ayat 5-6 yang artinya "Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan."


Tetap semangat menikmati proses yang ada dam semua aspek kehidupan kita. Karena setelah kesulitan ada kemudahan. Itulah janji-Nya. Jangan sampai karena kondisi ini, anak menjadi korban utamanya.


Banyak anak yang sebetulnya sangat cerdas, namun dilabel nakal karena ia bukan anak penurut. Banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak yang akan sukses adalah anak yang mangut-mangut saja menerima omongan orang lain. Sedangkan anak yang kritis dianggap anak yang aneh, anomali bahkan abnormal. Padahal bisa saja jika kita mampu memanfaatkannya, maka potensi unggulnya akan keluar dengan indahnya.


Apa sih potensi unggul itu? potensi yang paling menonjol dari potensi lainnya pada diri anak.


Mengapa penting memahami hal ini? biar anak gak salah jurusan, anak jadi bahagia dan hasil kerjanya maksimal karena kebahagiaan itu. Contoh mudahnya gini. Ada orang yang masakannya enak banget, ternyata ia sangat menyukai memasak, memasak baginya menyenangkan, selain menyenangkan ia pun punya bakat di dalamnya, jadi hasilnya maksimal. Sudah bahagia, enak masakannya, menghasilkan uang pula.


Namun ada orang seperti saya misalnya. Yang suka masak biasa aja, bakat pun biasa aja πŸ˜‚ ya hasilnya pun biasa aja, hanya memenuhi kewajiban dan kebutuhan perut saja, ketika melakukannya pun ya biasa aja, gak se happy orang yang memang suka masak, dan jelas tidak layak jual 😁 cukuplah untuk keluarga saja.


Artinya apa? jika kita melakukan sesuatu sesuai minat dan bakat maka hasilnya akan maksimal karena kita bahagia.


Untuk ciri-ciri anak bahagia sudah cukup jelas ya di slide. Yang mungkin agak membingungkan adalah poin ciri anak yang bahagia. Disana tertera "No ON OFF". Maksudanya apa? ini pernyataan dari Ayah Edy ya.


Jika pada anak berlaku hukum ON OFF, tidak ON ON maka berbahaya. ON yaitu anak lepas mengeluarkan emosinya. OFF berarti anak tidak lepas alias ada yang ditahan. Anak terlihat baik di rumah ternyata di luar tidak demikian, perilaku aslinya keluar saat tidak ada orangtua ataupun sosok lain yang ia takuti, itu berarti ON OFF. Maka jelaslah jika ON OFF menjadi iklim dalam keluarga, potensi unggulnya pun tidak akan keluar. Karena anak tidak lepas berekspresi kepada orangtuanya. Salah satu penyebabnya adalah karena orangtua adalah sosok menakutkan bagi anaknya. 


Kapan potensi unggul anak bisa terlihat? Beda-beda ya pada setiap anak itu. Sudah jelas ya di slide. Intinya kita jangan terlalu cepat menilai minat bakat anak. Ataupun jangan terlalu lambat. Keduanya memiliki resiko tersendiri.


Cara menemukan potensi unggul sudah jelas ya di voice note. Itu hanya bentuk ikhtiar saja. Selebihnya kehendak Allah lah yang menentukan. Namun kita pun diperintahkan untuk berusaha maksimal dan menentukan pilihan hidup yang akan diraih.


Mau anak kuliah atau berpendidikan, mau anak tidak kuliah, mau kita dari kalangan kurang mampu. Semuanya memiliki peluang untuk sukses seperti contoh-contoh yang dijelaskan di slide. Tinggal kita menyontek, memodel, mengambil ibroh agar kita terus belajar. Cendekiawan muslim pun banyak sekali yang sukses untuk kesejahteraan manusia lainnya. Karya besar banyak lahir dari para cendekia tersebut. Itu bisa menjadi penyemangat untuk orangtua ataupun anak kita sekalipun. Namun dari semua tauladan itu, tetaplah Rasulullah SAW adalah tauladan terbaik yang bisa kita contoh untuk semua aspek kehidupan.


Untuk membersamai ananda menemukan dan melejitkan potensi unggulnya pasti banyak tantangannya. Namun prinsipnya tetap. Lakukankah dengan sepenuh hati dan penuh kelembutan. Seperti halnya hadits di bawah ini : 


"Ajarlah, permudahlah dan jangan dipersulit. Gembirakanlah dan jangan ditakut-takuti. Jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berdiam diri." (HR. Ahmad & Bukhari)


Sesuai dengan hadits di atas. Kita sebagai orangtua hendalah mempermudah proses belajar anak. Belajar dalam segala hal. Apalagi ketika anak belum baligh. Banyak yang bertanya, apakah dalam beribadah pun kita tidak boleh memaksa anak? Adakah satu dalil saja yang memperbolehkan kita memaksa anak melakukan sesuatu? jawabannya tidak ada. Yang ada adalah kita menuntun anak untuk MEMAKSAKAN DIRINYA untuk beribadah. Bukan kita yang memaksa. Tapi dirinya lah yang harus belajar memaksakan dirinya sendiri sehingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan bahkan kebutuhan. Dalam hal ibadah yang sifatnya wajib, jelaslah kita tidak bisa memilih mau melakukannya atau tidak, karena memang wajib dilakukan. Namun dalam hal menemukan potensi unggul, kita dibekali akal pikiran serta hati untuk menentukan pilihan. Jadi jelas ya perbedaannya.


Yuk, terus berusaha semangat mambersamai anak dengan segala keunikannya 😍πŸ’ͺ

Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf atas segala kekurangannya, yang benar hanyalah milik Allah SWT, yang salah jelaslah keluar dari diri saya pribadi sebagai manusia biasa. Wallahu a'lam bish-shawwab.

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh...


Salam Bahagia..


Mozaik Psikologi

*Jika dirasa artikel ini bermanfaat, silakan boleh langsung di share saja yaa...

Minggu, 01 November 2020

Mendidik Tidak Bisa Mendadak

 MENDIDIK TIDAK BISA MENDADAK

Penulis : Eva Nur Khofifah, S.Psi., C.Ht.

Special for : Arsitek Peradaban Community

Sumber Gambar : tongkronganislam.net

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh sahabat fillah semuanya, izin memperkenalkan terlebih dahulu yaa..


Penulis adalah seorang ibu dari dua anak balita yang hingga detik ini terus belajar mengelola emosinya sebagai seorang ibu, dan akan terus belajar mengelola emosi hingga detik terakhir. Penulis pun adalah seorang isteri yang hingga detik ini pun terus belajar memperbaiki diri dan berusaha semaksimal mungkin menghangatkan suasana rumah, karena status seorang isteri ataupun ibu adalah jantungnya rumah. Seisi rumah akan berdetak dengan sempurna jika jantung rumahnya bahagia. 

Oleh karenanya, sebelum belajar ilmu pengasuhan anak, sebelum belajar mendidik anak, yuk bahagiakan diri kita dahulu, agar mampu menularkan kebahagiaan pada seisi rumah. Bagaimana caranya bahagia? salah satunya dengan bersyukur. Yuk kita awali materi ini dengan bersyukur atas segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya.


Mendidik tidak bisa mendadak. Sebuah frasa yang menjadi realita pada zaman ini khususnya. Mengapa mendidik tidak bisa mendadak ya sahabat semuanya? Mengutip pernyataan dari dr. Aisyah Dahlan (2020) yang diunggah oleh akun instagran @talkparenting yang menyebutkan bahwa "Diingat-ingat ya utuk orangtua, kalau mendidik anak itu tak mudah, karena hadiahnya surga, kalau mendidik anak mudah, hadiahnya rice cooker." πŸ˜‚


Intinya, mendidik tidak bisa mendadak karena mendidik itu tidaklah mudah, mak. Orangtua yang seringkali menyatakan hal tersebut adalah orangtua yang memiliki banyak anak dan sudah berpengalaman mempuyai anak dari berbagai fase perkembangan. Anaknya ada yang masih balita, kanak-kanak, remaja bahkan dewasa. Jadi orangtua berpengalaman betul bahwa perilaku anak ketika masa balita dan kanak-kanak akan berpengaruh terhadap perilakunya ketika remaja dan dewasa.


Nah, mengapa penulis bersemangat sekali sharing kepada para single lillah, pengantin baru, yang sedang menanti momongan, ataupun kepada emak bapak yang masih muda, yang anaknya balita-balita. Karena penulis seringkali mendapat curcolan dari emak bapak yang anaknya sudah usia remaja ataupun dewasa terkait perilaku anaknya yang bermasalah. Setelah ditelisik, asal muasalnya tidak jauh karena kurang tepatnya pengasuhan orangtua ketika anak masih kecil. Jika sudah terjadi seperti itu, gak bisa tuh kita mendidik anak secara mendadak atau memperbaiki sikap dan perilakunya yang kurang tepat dengan instan. Karena mendidik tidak seperti mie instan, yang ketika diseduh langsung jadi dan bisa diseruput dikala musim hujan seperti sekarang ini 😁


Jadi, yuk kita bisa merenung dan belajar bersama, mak πŸ˜…πŸ’ͺ


Mumpung anak-anaknya masih balita, seperti sebuah pepatah "Belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu, sedangkan belajar ketika sudah besar bagai mengukir di atas air."


Artinya apa, mak? artinya mengajarkan apapun di masa kecil lebih mudah dan bisa melekat hingga anak dewasa. Dibandingkan dengan mengajarkan sesuatu pada anak ketika ia sudah besar, lebih sulit mak.


Lalu, bagaimana seharusnya kita mendidik anak? siapakah yang dijadikan panutan? di slide sudah di jelaskan ya siapa saja yang harus kita contek dan contoh suri tauladannya.


Kita bahas tauladan pertama dan terbaik saja dahulu ya, yaitu Rasulullah SAW. Karena kalau dibahas semua bisa panjang kali lebar mak, luas sekali πŸ˜€


Rasulullah SAW bukan hanya bersabda namun memberikan contoh yang baik dalam mendidik anak sesuai dengan fase nya. Dalam Al-Qur'an ataupun hadits tidak secara eksplisit dijelaskan bahwa fase perkembangan anak ada 4 tahapan. Namun oleh para ulama, ahli Al-Qur'an dan para Muhadits menganalisa berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits terkait hal ini. Berikut ringkasannya :

1. Fase pertama ialah usia anak 0-7 tahun

Fase ini, jadikanlah anak layaknya raja. Ia harus diperlakukan dengan lemah lembut sekalipun melakukan kesalahan. Mendidik dengan lemah lembut sangatlah efektif dan inilah yang dicontohkan oleh Rasul kepada anak dan cucunya. Kalaupun anak melakukan kesalahan, dilarang keras berkata kasar apalagi melakukan kekerasan fisik. 


Seperti yang dicontohkan nabi pada cucunya Hasan dan Husain. Saat itu Rasulullah SAW sedang bersujud dan punggungnya dinaiki oleh cucunya Hasan dan Husain, dan Rasulullah memanjangkan sujudnya.


Kemudian ada sahabat yang bertanya "mengapa melakukan demikian?" Rasulullah SAW menjawab "aku tak suka membuatnya tergesah-gesah, sampai dia memenuhi hajatnya" (HR Ahmad dan Hakim).


Yuk, coba kita bayangkan pada diri kita? jika anak kita naik ke punggung saat kita sujud, apakah kita akan berlama-lama sujud ataukah cepat-cepat? 😁


Ini hanya satu hadits saja, banyak sekali keterangan yang menuturkan betapa lemah lembut dan penuh kasih sayangnya Rasulullah pada anak kecil.


2. Fase kedua usia anak 7-14 tahun

Pada usia ini, perlakukan anak layaknya tawanan perang. Penegakan disiplin dan tanggungjawab sudah mulai diterapkan pada usia ini. Namun tetap ada aturannya, yaitu tidak boleh dengan kekerasan ataupun berlaku kasar. Yang diperbolehkan adalah TEGAS. Bukan keras ataupun kasar. Seperti dalam hadits di bawah ini :


Dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)" (HR Abu Dawud, Ahmad dan Hakim).


Rasulullah SAW menganjurkan untuk memukul anak itu dimulai ketika anak berusia 10 tahun, itupun alasannya jelas, yaitu meninggalkan shalat. Memukulnya pun ada tahapannya, tidak asal. Lah kitee bagaimanee? anak baru brojol disayang-sayang, kesananya mulai deh dipelototin 😁 emak berubah jadi singa yang bertanduk dari hari ke hariπŸ˜…


3. Fase ketiga usia anak 14-21 tahun

Pada fase ini, jadikanlah anak layaknya sahabat. Anak mampu terbuka karena sikap lemah lembut orangtua. Berbagi pikiran dan seringlah berbincang tentang segala hal. Pada fase remaja ini, anak perempuan tidak mengapa dekat dengan ayahnya, agar ia tidak mencari kasih sayang selain dari ayahnya, sudah full dari ayahnya. Untuk anak laki-laki, tak mengapa dekat dengan ibunya. Tujuannya agar anak belajar bagaimana memperlakukan perempuan dari sang ibunda. Usia ini tetaplah memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, seperti kasih sayangnya Rasulullah SAW kepada Fathimah dalam Hadits di bawah ini :


"Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari dagingku, siapa yang menyakitinya maka menyakitiku, dan membuatku marah apa-apa yang membuatnya marah" ( HR Thabrani dan Mu'jam Kabir no 18446).


Saking sayangnya Rasulullah SAW pada anaknya, beliau sampai berkata demikian. Bahkan usia Fathimah sudah dewasa pun, sudah menikah, dalam hadits lain disebutkan, Rasulullah SAW tetap memeluknya ketika ia berkunjung ke rumah. Bukan hanya memeluk, namun ketika Rasul sedang duduk pun Rasulullah langsun berdiri untuk menyambut anaknya. Mudah-mudahan kita bisa mengambil tauladan darinya, bahwa menyayangi dan memanjakan anak itu bukan hanya masa kanak-kanak saja, meskipun anak kita sudah berjanggut ataupun keriput, ia tetaplah anak kita.


4. Fase keempat usia 21 tahun ke atas

Ada ulama yang mengelompokkan tahapan mendidik anak ala Rasul sampai usia 21 tahun, dan adapula yang memberikan penjelasan lebih pada usia 21 tahun ke atas. Keduanya pun tak mengapa. Namun saya lebih ingin menyoroti pula fase 21 tahun ke atas ini, karena dirasa urgent untuk masa kini. Pada fase ini, siapkan anak untuk menikah. Meski dalam hal tanggungjawab harus sudah diajarkan dari ini. Namun pada usia ini lebih ke evaluasi atau chek n rechek saja 😁 


Untuk anak laki-laki, siapkan menjadi pemimpin untuk keluarganya. Untuk anak perempuan, siapkan menjadi makmum sekaligus pemimpin. Makmum untuk suami, dan pemimpin untuk anaknya. Seperti termaktub dalam hadits di bawah ini :


Rasulullah SAW bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara dalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalh pemimpin atas keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal pertanggungjawabannya (HR Muslim).


Sesuai hadits tersebut, jelaslah bawa jika sudah menjadi ibu maka kita adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seringlah meminta maaf dan berterimakasih kepada anak. Meskipun kesalahan kita sudah terekam dalam alam bawah sadarnya, setidaknya jika kita meminta maaf, luka batinnya perlahan akan pulih. In syaa Allah.


Nah, sudah agak terbayang kan bagaimana mendidik anak yang seharusnya?

 

Selain sesuai fase perkembangan, mendidikpun semua aspek perkembangan ada aturannya. Aspek perkembangan itu apa saja ya? Ada aspek fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, spiritual dan moral. Semua aspek perkembangan tersebut tidak bisa mendadak mak diajarkannya, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mendidik itu tidak seperti tahu bulat yang enak jika digoreng dadakan, mendidik itu gak enak banget kalo dadakan, mengapa? karena energi, waktu, pikiran bahkan biaya bisa lebih terkuras habis.


Membahas aspek perkembangan lain kali saja ya mak, bisa gak beres satu semester soalnya πŸ˜…


Materi dalam slide terkait dengan contoh bad attitude & behaviour (perilaku), itu hanya secuil contoh saja. Realitanya banyak sekali contoh-contoh sikap dan perilaku anak yang kurang tepat jika orangtua tidak mendidiknya dengan tepat sedari dini.


Mendidik itu melelahkan ya mak? akui saja dalam hati jika memang demikian. Namun sebagai orangtua harus berpikir ke depan. Jika kita tidak mati-matian sedari dini dalam mendidik anak, kita bisa mati beneran pas masa tua karena melihat perilaku anak. Stress karena perilaku anak dan akhirnya berpengaruh terhadap kondisi fisik kita. Ketika anak usia remaja atau dewasa, ia tidak menjadi qurrata a'yun untuk orangtuanya. Naudzubillah, ngeri ya mak apalagi liat pergaulan zaman now, orangtua bukan hanya harus lemah lembut tapi harus cerdas juga dalam mendidik anaknya.


Mungkin dalam hati para orangtua ada yang berkata "ah, namanya juga anak kecil, memang begitulah anak kecil, nanti juga gak akan, baik sendiri kok." Pernyataan seperti itu sebetulnya hanyalah harapan, bukan realita di lapangan. Untuk mengetahui realita di lapangan, kita harus sering mengobservasi bahkan mewawancarai secara mendalam para orangtua yang sudah berpengalaman dalam mengasuh anaknya, ketika anaknya bermasalah saat remaja dan dewasa, apa kesalahan mereka yang bisa kita ambil hikmahnya, bisa kita ambil pelajaran agar kesalahannya tidak kita ulang. 


Namun jika kitalah yang sebetulnya menjadi korban perlakuan tidak adil orangtua kita. Cukup ambil pelajaran saja, STOP di kita dan maafkanlah orangtua kita. Tak ada alasan kita menjadi durhaka pada orangtua jika kita sudah mengetahui ilmunya. Ambil hikmahnya saha supaya jangan sampai kita melakukan pada anak kita dan anak kita melakukan pada cucu kita kelak, jadi dosa turun temurun kan mak 😭


Sekarang saatnya kita menikmati proses yang ada, karena kalau sekarang tidak dinikmati kasihan sama diri kita mak. Mengapa? ya karena sampai anak kita dewasa pun kita akan tetap mendidiknya, akan tetap ada pusing dan lelahnya, tetap ada tantangannya, namun jika sedari awal kita mendidik, maka In syaa Allah ke depannya tidak akan ada masalah yang berarti. Oleh karenanya, lebih baik kita nikmati setiap prosesnya.


Sudah segitu dulu aja yaa sahabat fillah semuanya, sedikit saja yang memang harus dijelaskan agak mendetail. Selebihnya, di slide pun sudah cukup jelas ya, In syaa Allah.

Yuk ah, terus belajar menjadi orangtua yang mencintai dan dicintai anaknya.


Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf atas segala kekurangannya, yang benar datangnya hanya dari Allah SWT, dan yang dhaif  keluarnya dari saya pribadi sebagai manusia biasa. Wallahu a'lam bish-shawab..

 Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh..


Salam Bahagia


Mozaik Psikologi

*Jika dirasa artikel ini bermanfaat, silakan boleh di share yaa...